Sabtu, 25 Agustus 2007

KSB sejarah

SEJARAH

PERJALANAN SEJARAH POLITIK SUMBAWA BARAT

(Dari Pilbup Sumbawa ke Pilbup KSB)

Oleh : Syahrul Mustofa[1]

Perjalanan politik Kabupaten Sumbawa Barat, adalah merupakan proses panjang dari perjalanan politik sebelumnya. Ketika Kabupaten Sumbawa Barat masih merupakan bagian dari Kabupaten Sumbawa. Kisah panjang, ini dimulai dari Pemilihan Bupati Sumbawa tahun 2000. Ketika itu, sejumlah putra-putri terbaik, masyarakat Sumbawa Barat, harus rela menerima realitas politik, gugurnya para putra-putri terbaik dalam kancah pemilihan Bupati, lantaran pemilihan yang sarat dengan kecurangan. Kilas balik perjalanan sejarah politik, dalam kontek tulisan ini memfokuskan pada kilas balik dinamika politik yang berlangsung saat itu (pemilihan Bupati Sumbawa 2000). Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan atau membangkitkan trauma sejarah politik masyarakat Sumbawa Barat, melainkan dimaksudkan untuk melihat background sejarah politik masa lalu untuk melihat dinamika politik yang berlangsung saat ini dan prospek pembangunan politik di masa mendatang.

Setidaknya, kilas balik ini dapat memberikan gambaran sekaligus dapat dijadikan cermin bagi masyarakat Sumbawa Barat dalam menghadapi sebuah proses politik, seperti halnya Pilkada langsung 2005. Empat pertanyaan dasar akan dikupas dalam bagian pertama ini yaitu ; bagaimanakah proses pemilihan Bupati Sumbawa tahun 2000? Apa dan sejauhmanakh implikasinya? Apa yang melatarbelakangi perjalanan politik tersebut? Pelajaran apa yang diperoleh dari sejarah pemilihan Bupati Sumbawa?

1. Pemilihan Bupati Sumbawa : Marginalisasi Politik, Politik Marginalisasi

Pergeseran politik pasca jatuhnya rezim Soeharto, naiknya rezim Habibie dibawah orde reformasi berhasil melahirkan UU.No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pergeseran pun mulai berlangsung dari dari Pusat ke Daerah melalui desentralisasi kewenangan disejumlah bidang pemerintahan. Pergeseran kedua adalah pada tingkat kekuasaan lembaga pemerintahan, yang sebelumnya executive heavy melalui UU.No.22/1999 mengarah pada legislative heavy. Salah satu kewenangan DPRD adalah memilih Kepala Daerah. Pemilihan Bupati Sumbawa tahun 2000 adalah pemilihan pertama diera reformasi, dalam sejarah untuk pertama kali dalam pemilihan Bupati Sumbawa tahun 2000 yang disambut dengan begitu tingginya partisipasi masyarakat. Hal ini tercermin dari munculnya berbagai forum diskusi, seminar, lokakarya, talkshow, dialog terbuka sampai jejak pendapat jauh hari sebelumnya hingga menjelang akan dilangsungkannya pemilihan Bupati Sumbawa mewarnai potret Sumbawa saat itu. Tingginya perhatian masyarakat Sumbawa dalam menyikapi Pemilihan Bupati juga terlihat dari adanya sejumlah kalangan masyarakat, khususnya kelompok reformis Sumbawa yang melakukan berbagai aksi dipenghujung kepemimpinan Bupati Yakob Koswara akhir tahun 1999 seiring dengan arus reformasi yang saat itu sedang bergulir derasnya di tanah air.

Mafhum, untuk pertama kali diera reformasi ini, DPRD Kabupaten Sumbawa akan memilih Bupati. Kondisi yang tentu saja berbeda dari era sebelumnya, dimana DPRD hanya bisa bilang “setuju” kalau Pemerintah Pusat telah menempatkan “orangnya” sebagai Bupati Sumbawa, dari sederatan nama Bupati yang memimpin Sumbawa notabennya adalah bukan “putra asli daerah” dan umumnya adalah dari kalangan militer. Maka, tidaklah mengherankan jika kran demokrasi yang mulai terbuka diera reformasi, dimanfaatkan sedemikian rupa oleh masyarakat untuk menyambut “pesta demokrasi”, Pemilihan Bupati Sumbawa tahun 2000. Peluang yang cukup terbuka yang diberikan oleh UU.No.22/1999, telah mendorong mata dan hati masyarakat Sumbawa untuk turut serta merayakan pesta demokrasi itu. Tak terkecuali, sejumlah tokoh dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari budayawan, akademisi, politisi, agamawan, bahkan sopirpun turut serta terlibat untuk merumuskan bagaimana pemimpin dan kriteria ideal Bupati kabupaten Sumbawa, 2000-2005.

Dialog Budaya pun digelar di Kota Sumbawa Besar, sebagai salah satu puncak (kristalisasi), ide, gagasan, keinginan dan harapan masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat, merefleksikan kepemimpinan Kabupaten Sumbawa sebelumnya dan merumuskan sosok pemimpin yang ideal di Kabupaten Sumbawa, mengingat keberadaan UU.No.22/1999, meski memiliki berbagai kemajuan dari undang-undang sebelumnya, namun persyaratan dan kriteria yang digunakan dalam Pasal 33 UU No.22/1999 relative masih sangat umum, dan belum menampakkan adanya karakteristik pemimpin yang diiginkan oleh masyarakat. Kelemahan itulah yang kemudian, coba ditutupi oleh sejumlah elemen masyarakat Sumbawa dengan merumuskan sejumlah kriteria dan harapan sosok pemimpin ideal bagi masyarakat Sumbawa. Tujuannya, melalui kriteria ini, selain untuk melahirkan sosok pemimpin yang memahami daerah, juga diharapkan pemimpin tersebut dalam “membumi” dengan masyarakat, alam dan system kehidupan Sumbawa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. oleh sebab itu, dialog budaya pun berlangsung cukup panjang, alot, kaya akan persfektif dan komponen yang terlibat cukup luas dan mewakili unsur yang ada. Diakhir dialog, dibentuk Team Perumus, untuk menentukan kriteria ideal pemimpin Sumbawa 2000-2005[2]. Dengan adanya rumusan kriteria pemimpin Sumbawa ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan sekaligus pedoman bagi anggota DPRD Sumbawa untuk memilih Bupati Sumbawa masa periode 2000-2005. Lalu, seperti apakah sosok pemimpin yang ideal yang bisa memimpin Sumbawa?. Berikut penggalan inti rumusannya :

  1. Cinta dan kasih sayang kepada rakyat (mempunyai komitmen kerakyatan yang kuat).
  2. Tidak terlampau ambisi untuk menjadi pemimpin
  3. Tidak semata-mata mengharapkan keuntungan dari kepemimpinanya (tanpa pamrih)
  4. mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang memadai dibidang pemerintahan
  5. Mempunyai pengetahuan dan komitmen yang kuat untuk mengembangkan budaya daerah
  6. Berjiwa democrat dan reformis serta mengerti terhadap trend atau kecendrungan global.
  7. selama ini memiliki akses dan konstribusi konkret dalam memajukan daerah (bukan merupakan kader dadakan, yang muncul kepermukaan tiba-tiba).
  8. Mampu membawa daerah ini menuju proses demokrasi secara benar dan committed terhadap hapusnya praktik otoritarianisme yang sangat berpotensi dilakukan oleh kalangan militer. Dengan kata lain, diperlukan pemerintahan sipil, bukan militer
  9. memiliki basis dukungan (rakyat) yang kuat serta memiliki akses ke Pemerintah Pusat.
  10. Mengenal tau dan Tana Samawa dalam arti memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya revitalisasi budaya Samawa, dalam rangka memantapkan ketahanan budaya dan jati diri tau dan Tana Samawa.
  11. Sumbawa sebagai daerah yang mayoritas muslim pemimpinya perlu memiliki sifat-sifat :
    1. Siddiq (benar) dalam arti semua perkataan dan perbuatannya selalu benar ;
    2. Amanah (jujur dapat dipercaya)
    3. Tabligh (terbuka) ; dan
    4. Fathonah (cerdas, pandai dan bijaksana).

Kuatnya arus partisipasi politik masyarakat, mendesak sejumlah anggota DPRD Kabupaten Sumbawa memandang perlu untuk melakukan proses penjaringan bakal calon dan membuka peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkompeten untuk ikut serta menjadi Bakal Calon Bupati Sumbawa.

Proses penjaringanpun dimulai dan dari usulan masyarakat yang masuk ke DPRD, sedikitnya sebanyak 48 daftar nama yang diharapkan masyarakat dapat sebagai bakal calon bupati (Bacabu). Setelah seluruh usulan masyarakat masuk, proses selanjutnya adalah pembahasan tentang usulan masyarakat dan pembahasan hasil penjaringan yang dilkukan oleh sejumlah fraksi di DPRD Sumbawa, setelah proses pembahasan penjaringan ditingkat fraksi selesau dibahas, dari 48 bakal calon bupati, ternyata hanya sebanyak 15 bacabu yang dipilih dan ditetapkan oleh fraksi di DPRD untuk diajukan sebagai bakal calon bupati dari fraksi masing-masing, ke 15 Bacabu itu adalah ;(1) Drs. H. Bonyo Thamrin Rayes (2) Baharudin Anggir, (3) Drs. H Wahid Salim, S.H,(4) Drs. H. A Latief Madjid, (5) Kolonel Laut A Kadir Wake, (6) KH Zulkifli Muhadli, S.H, (7) Drs. H Saruji Masnirah M.Si, (8) Drs. H. Syamsuddin Anwar, (9) H. Agusfian Wahab, S.H (10) Drs. Lukman Syansuddin, M.A., (11) Kolonel Polisi (pur) H M Aminollah, (12) Drs. Salim Ahmad, (13) Kolonel AD H Cherry Bolang, (14) drh. Zaidun Abdullah, dan (15) Kolonel Laut H Muchtar Adam S.I.P. Berikut ini komposisi bacabu yang diusulkan 5 fraksi di DPRD Sumbawa :

DAFTAR BACABU YANG DIUSULKAN MASING-MASING FRAKSI

Bacabu Usulan Fraksi Aliansi Reformasi

1

2

3

4

5

6

Drs. Thamrin Rayes

Baharuddin Anggir

Drs. H Wahid Salim, S.H

Kolonel Laut A Kadir Wake

KH Zulkifli Muhadli, S.H

Drs. Salim, Ahmad

Bacabu Usulan Fraksi Persatuan Pembangunan

1

2

3

4

5

6

Drs. Thamrin Rayes

Drs. H Saruji Masnirah, M.si

Drs. H. Syamsudin Anwar

Drs. H A Latief Madjid

KH Zulkifli Muhadli, S.H

Kolonel Laut A Kadir Wake

Bacabu usulan Fraksi Parati Golkar

1

2

3

4

5

6

H. Agusfian Wahab, S.H

Drs. Lukman Syamsuddin, M.A

Drs. H Wahid Salim, S.H

Drs. H A Latief Madjid

Drs. Salim Ahmad

Kolonel Polisi (purn) H M Aminollah

Bacabu Usulan Fraksi PDI-P

1

2

3

4

5

6

Drs. Thamrin Rayes

Kolonel AD H Cherry Bolang S.I.P

Drs. H Wahid Salim, S.H

Drs. H A Latief Madjid

Kolonel Laut A Kadir Wake

drh. Zaidun Abdullah

Bacabu Usulan Fraksi TNI/Polri

1

2

3

4

5

6

Drs. Thamrin Rayes

Kolonel AD H Cherry Bolang S.I.P

Drs. H Wahid Salim, S.H

Drs. H A Latief Madjid

Kolonel Polisi (purn) H M Aminollah

Kolonel Laut H Muchtar Adam

Dari lima belas nama bakal calon bupati, terlihat sejumlah nama bacabu yang notabennya berasal dari masyarakat Sumbawa di bagian barat, antara lain ; KH Zulikifli Muhadli, S.H, H. Agusfian Wahab, Drs. Salim Ahmad (Kecamatan Taliwang), drh Zaidun Abdullah (Kecamatan Seteluk), Drs Thamrin rayes, Drs H Wahid Salim (Kecamatan Alas). Keberadaan mereka tentu menjadi asa besar bagi masyarakat Sumbawa bagian barat. Pasalnya, pada tingkat legislative keberadaan jumlah anggota dari Sumbawa Bagian Barat sangatlah terbatas, khususnya masyarakat yang berada di Kecamatan Sekongkang, Jereweh, Taliwang, Brang Rea dan Seteluk. Hal yang sama juga terjadi dalam struktur birokrasi ditingkat eksekutive, minimnya jumlah birokrat yang notabennya berasal dari wilayah Sumbawa Bagian Barat selama masa kepemimpinan Bupati sebelumnya telah mengundang kecemburuan sosial masyarakat Sumbawa bagian Barat. Apalagi, kecendrungan kebijakan pembangunan selama ini yang cenderung mengkedepankan pembangunan Sumbawa pada wilayah bagian timur, kondisi ini telah mendorong semakin kuatnya kecemburuan sosial masyarakat di bagian Sumbawa Barat. Sebab, selama ini justeru konstribusi terbesar anggaran Kabupaten Sumbawa berasal dan bersumber dari masyarakat Sumbawa di bagian barat dengan keberadaan PT.NNT.

Dalam konteks itu, maka proses pemilihan Bupati Sumbawa, adalah merupakan sarana yang dinilai sangat strategis bagi masyarakat Sumbawa Bagian Barat dalam rangka mencari keadilan politik dan ekonomi (pembangunan). Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila dukungan masyarakat di Sumbawa Bagian Barat sangat berharap dalam proses Pemilihan Bupati Sumbawa 2000 dapat mendudukkan kadernya sebagai Bupati. Kecendrungan keinginan masyarakat Sumbawa Bagian Barat, nampaknya juga cukup mendapat sambutan yang baik dari masyarakat lainnya. Munculnya sejumlah nama bacabu yang notabennya dari Sumbawa Bagian Barat ternyata cukup memperoleh dukungan positif dari masyarakat lainnya. Misalnya saja hasil jejak pendapat dari berbagai kalangan masyarakat di Kota Sumbawa Besar yang dilakukan salah satu LSM, beredar pada hari minggu tanggal 20 febuari 2000, dari 15 bacabu, 5 bacabu yang masuk dalam daftar unggulan umumnya adalah bacabu yang berasal dari Sumbawa bagian Barat yakni Wahid Salim, Lukman Syamsuddin, Syamsudin Anwar, Agusfian Wahab dan KH Zulkifli Muhadli. Kelima kandidat ini dinilai layak dan patut oleh masyarakat Sumbawa, selain visi dan misi yang sangat baik juga dinilai relative memenuhi kriteria yang dirumuskan dalam konsep pemimpin tana samawa. Dan dalam jejak pendapat tersebut, nama Latief Madjid tidak muncul sebagai sosok pemimpin ideal di Sumbawa. Bahkan, jauh-jauh hari hingga hari H pemilihan Bupati, suara menolak terhadap Latief Madjid terus bergulir. Diberbagai tempat seperti ditembok-tembok gedung tertentu dan di jalan-jalan raya (diatas aspal) Kota Sumbawa Besar bertebaran coretan-coretan cat pylox bernada protes dan hujatan terhadap Latief Madjid.

Meski dukungan dari arus bawah cukup deras mengalir terhadap sejumlah nama sebagaimana diatas, dan penolakan terus mengalir terhadap Latief Madjid, namun hasil proses penyaringan yang dilakukan oleh DPRD sebagai Panitia Khusus Pemilihan (Pansus), dalam proses penyaringan bacabu (bakal calon bupati) menjadi Calon Bupati, ternyata berbeda, dan yang tersisa adalah (1) Latief Madjid (2) Wahid Salim (3) A Kadir Wake (4) Cherry Bolang dan (5) Agusfian Wahab. Pertarungan pun kembali digelar, Sidang Paripurna Pemilihan pun dimulai. Dari sejumlah nama yang diharapkan masyarakat Sumbawa bagian Barat dapat lolos sebagai Calon Bupati, ternyata hanya menyisakan 2 orang saja, yakni Agusfian Wahab (Kec Taliwang) dan Wahid Salim (Kecamatan Alas). Sementara sejumlah nama seperti ; Thamrin Rayes, KH Zulkifli Muhadli, drh Zaidun Abdullah dan sejumlah bacabu lainnya dari Sumbawa Bagian Barat telah gugur. Meski demikian, dua nama besar, Agusfian Wahab dan Wahid Salim setidaknya masih menjadi asa bagi masyarakat sumbawa bagian barat, setidaknya kedua orang ini dengan populeritasnya dapat mengimbangi bahkan meraih suara yang dapat mengantarkan mereka pada kursi Bupati.

Kekecewaan masyarakat Sumbawa Bagian Barat memang masih terobati, namun demikian, letupan kekecewaan dan reaksi masyarakat atas gagalnya sejumlah bacabu telah mulai melahirkan reaksi masyarakat dimana-mana, sejumlah tokoh masyarakat Sumbawa Bagian Barat mulai mengorganisir dan menkonsolidasikan diri dalam satu kekuatan bersama, solidaritas Alas, Taliwang, Utan, Seteluk, Jereweh mulai terbangun. Komunikasi ini semakin intens tatkala para kader yang diunggulkan dan diharapkan sebagai Bupati gugur lebih awal dalam proses pemilihan.

Tibalah saatnya, hari yang dinantikan dalam sejarah, senin tanggal 21 Febuari 2000, dimana 40 anggota DPRD akan memilih bupati dari 5 calon bupati yang ada. Ratusan orang datang menyaksikan secara langsung pemilihan Bupati Sumbawa. Berbagai prediksi muncul disana-sini. Bahkan, tidak sedikit pula sejumlah kalangan bertaruh, menebak siapa yang akan terpilih menjadi Bupati Sumbawa untuk masa periode 2000-2005. Teka-teki ini memang berlaku bagi masyarakat diluar pagar, tidak halnya bagi anggota DPRD. Karena menurut sejumlah kalangan, hasilnya sudah dapat ditebak siapa yang akan menang. Pasalnya, pemilihan Bupati Sumbawa adalah design scenario yang konon sudah lama memang telah dipersiapakan oleh sejumlah anggota DPRD. Sekenario tersebut mulai dari penyusunan tata tertib pemilihan, pemilihan bacabu, cabu hingga siapa dan berapa suara yang harus diberikan pada hari H Pemilihan. Berikut ini hasil Perolehan suara pemilihan Bupati Sumbawa 2000 :

Dari hasil 40 suara DPRD, Latief Madjid memperoleh 17 suara atau sekitar 42% persen, diikuti Wahid Salim 10 suara atau 25% persen, Chery Bolang 9 suara atau sekitar 23%, A Kadir Wake sebanyak 4 suara atau 10% dan terakhir H. Agusfian Wahab 0 suara atau 0%. Perolehan suara ini memang cukup mengejutkan bagi masyarakat, sebab nama Latief Madjid tidak termasuk dalam daftar nama yang disebut dan diunggulkan masyarakat sebagai Bupati. Dan yang mengejutkan lagi, bila melihat prosentase sebagaimana diatas, capaian perolehan suara Calon belum mencapai jumlah 50% + 1 suara. Artinya, untuk keluar sebagai pemenang (bupati terpilih) setidaknya Calon memperoleh dukungan 21 suara. Meski belum mencapai perolehan suara, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 22/1999, Latief Madjid tetap dikukuhkan sebagai pemenang dan sekaligus Bupati terpilih. Hal ini disebabkan, menurut sebagian besar kalangan dasar acuan yang digunakan pada pemilihan Bupati Sumbawa tahun 2000 “tidak” berlandaskan pada UU 22/1999, melainkan Surat Keputusan Pimpinan Dewan Nomor 11/KPTS/Pim-DPRD/2000. Keputusan tersebut ditetapkan dalam rapat Panitia Pemilihan (Panlih) tanggal 7 Febuari 2000, bukan melalui Rapat Paripurna DPRD. Atas dasar dasar itu, maka putaran kedua untuk mencapai 50% + 1 suara tidak dilaksanakan lagi oleh DPRD. Dari sinilah mulai nampak pilihan dan keinginan rakyat mulai berbeda dengan pilihan para wakil rakyat. Pertanyaanpun mulai muncul ada apa dibalik kemenangan Bupati terpilih?

2. Kekecewaan Rakyat Terhadap Pilkada Sumbawa 2000

Pasca Pemilihan Kepala Daerah, tanggal 21 Febuari 2000 gejolak politikpun mulai berkembang mewarnai perjalananan menuju pelantikan Bupati terpilih. Terpilihnya Bupati, Latief Majdid sebagai kampium dalam Pemilihan Kepala Daerah diduga sejumlah kalangan masyarakat Sumbawa syarat dengan berbagai praktek kecurangan. Setidaknya, ada 4 kekecewaan dan dugaan kecurangan yang dipermasalahkan masyarakat (1) aturan main dalam Pemilihan Bupati yang tidak mengacu dan berlandaskan pada UU No.22/1999 berikut Peraturan Pemerintah lainnya serta dugaan pelanggaran terhadap penggunaan produk dan instrumen hukum secara sewenang-wenang oleh para pimpinan DPRD dengan memproduk aturan hukum yang saling bertentangan dan terkesan mengada-ada (2) adanya dugaan praktek money politik dalam proses pemilihan Bupati serta diskriminasi sikap politik DPRD terhadap para calon bupati (3) adanya setting scenario politik yang tidak demokratis, karena pemenangnya “telah” ditentukan terlebih dahulu dalam forum informal DPRD yang diduga sarat dengan deal dan proses konkalikong yang saling menguntungkan sesame dan diantara para elite politik. (4) tidak diakomodirnya tuntutan dan harapan sejumlah masyarakat atas bacabu yang dalam persfektifnya dinilai layak dan patut untuk dimajukan sebagai bupati, setidaknya sebagai Calon Bupati (5 besar) dalam pemilihan.

Issue yang mengemuka saat itu adalah dugaan praktek money politik. Sejumlah kesaksian diberikan oleh sejumlah, masyarakat, birokrat bahkan dari internal pengurus partai politik itu sendiri yang peduli terhadap pemerintahan yang bersih. Beberapa anggota DPRD, diduga kuat telah menerima suap dari salah seorang Calon Bupati, besarnya antara Rp.25 juta hingga 75 juta. Bahkan, diantara mereka diduga juga menerima dari calon bupati lainnya. Beberapa diantara mereka ada yang telah menerima uang muka, sehingga proses pemilihan Bupati menjadi tidak fair dan syarat dengan muatan kepentingan subyektif para anggota DPRD[3]. Issue ini semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPRD. Bahkan, mereka tidak mengakui Bupati terpilih. Pada tanggal 22 Febuari 2000, digelar pertemuan “Evaluasi Kritis Pemilihan Bupati” yang dilaksanakan di Kampus Universitas Samawa (Unsa), dari sana mulai terungkap dan kecurigaan semakin meningkat terhadap DPRD. Bahkan para peserta yang hadir, yang sebagian besar adalah mahasiswa menilai DPRD Sumbawa periode 1999-2004, lebih buruk dari DPRD pada masa Orde Baru. Upaya penolakan terhadap hasil pun berkembang menjadi upaya perlawanan rakyat dengan melalui berbagai cara mulai dari dialog, aksi demonstrasi, hingga aksi Sidang Rakyat[4]. Ada tiga tuntutan mendasar yang mereka inginkan; (1) Pemerintah membatalkan hasil Pemilihan Bupati karena dinilai cacat hukum dan sarat dengan praktek money politic dan menuntut agar dilakukan pemilihan Bupati ulang. (2) Mendesak agar dilakukan Pemecatan dan pembersihan anggota DPRD Sumbawa yang terlibat praktik money politics, karena DPRD dinilai sebagai sumber kejanggalan dalam proses dan hasil pemilihan bupati sumbawa, sehingga meruntuhkan nama baik dan kepercayaan rakyat terhadap DPRD ; (3) Mendesak agar Ketua dan Wakil-wakil ketua DPRD Kabupaten Sumbawa dipecat karena dinilai sebagai sumber dan biang kerok ketidakberesan dalam proses pemilihan bupati[5]. Tuntutan ini kemudian dikenal dengan Tritura Tau Samawa Peduli Reformasi (Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat Sumbawa Peduli Reformasi).

Pada tanggal 23 Febuari 2000 demontrasipun digelar, aksi longmarch dilakukan menuju gedung DPRD. Aksi yang dipimpin oleh M.yamin dan Rusdianto (senat Mahasiswa Unsa) ternyata mendapat dukungan luas dari masyarakat, bukan hanya masyarakat kalangan kampus, tapi masyarakat yang berada di Ibu Kota Sumbawa (Sumbawa Besar). Setibanya di Kantor DPRD, tidak ada satupun Pimpinan DPRD yang ada, saat itu hanya ada 4 orang anggota DPRD, dan keempat anggota DPRD tersebut diminta untuk membeberkan issue praktek money politik di tubuh DPRD, mereka “dipaksa” keluar dari gedung DPRD bersama dengan kursi DPRD yang berada dalam ruanganpun ikut dikeluarkan oleh para demosntrans sebagi symbol perlawanan rakyat terhadap DPRD. Tak puas dengan hasil di DPRD, karena sebagian besar anggota DPRD tidak berada ditempat, para demosntranpun bergerak ke Kepolisian Resort Sumbawa, setibanya disama mereka diterima Kapolres yang saat itu dijabat Letkol Lukmanul Hakim, namun dalam dialog tersebut, lagi-lagi para demonstran kecewa, karena menurut Kapolres kasus money politics belum diatur dalam KUHP. Para demonstranspun akhirnya meneruskan aksinya ke Kejaksaan Negeri. Setelah mempaparkan seputar dugaan kasus money politik, pihak Kejaksaan menanggapinya dengan menyarankan agar dalam mengungkap kasus ini dibentuk Tim Pencari Fakta. Belakangan, setelah melihat kecendrungan adanya ketidakseriusan, akhirnya Tim Pencari fakta tidak dibentuk, karena dinilai sia-sia, Kejaksaan dan Kepolisian dinilai oleh para demosntrans tidak serius untuk mengusut kasus money politik tersebut. Dan Malam harinya, sejumlah mahasiswa menginap di Gedung Dewan.

Sementara itu, pada hari yang bersamaan (tanggal 23 Febuari 2000 ) genderang perpisahan masyarakat Sumbawa Bagian Barat dari Kabupaten Sumbawa mulai ditabukan oleh sejumlah tokoh masyarakat yang berada di Kecamatan Taliwang, tepatnya di Masjid Al khairiyah, Dusun Arab, Desa Dalam Kecamatan Taliwang, sejumlah tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hasbullah YS berkumpul dan mendiskusikan persiapan Pembentukan Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Sikap ini merupakan salah satu reaksi kekecewaan masyarakat Sumbawa Bagian Barat atas gagalnya putra-putri terbaik yang berasal dari wilayah bagian barat Kabupaten Sumbawa dalam suksesi kepala daerah[6]. Dimana tugas dari panitia ini adalah mempersiapkan langkah-langkah konkret jangka pendek untuk pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, termasuk melakukan konsolidasi kepada tokoh-tokoh masyarakat dari 8 (delapan) Kecamatan dalam jangka waktu dekat. Adapun kedelapan Kecamatan itu adalah Kecamatan Utan Rhee, Alas, Alas Barat, Seteluk, Brang Rea, Jereweh dan Sekongkang. Momentum Pembentukan Persiapan Panitia Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, seperti halnya momentum tatkala Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ditengah jatuhnya Bom di Kota Hirosima dan kekalahan Jepang. Bangsa Indonesia memanfaatkan peluang itu untuk merdeka. Maka, sangatlah tepat menurut hemat saya, jika para tokoh masyarakat Sumbawa Barat mengambil momentum gejolak politik di Kabupaten Sumbawa itu untuk mendeclare keinginannya untuk melepaskan diri dari Kabupaten Sumbawa. Dihari itu, Rabu tanggal 23 Febuari 2000, telah terjadi dua peristiwa besar dalam sejarah perjalanan politik lokal.

Peristiwa sejarah pertama adalah peristiwa aksi demontrasi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat ke Gedung DPRD sebagai tanda dimulainya perlawanan rakyat terhadap DPRD atas proses pemilihan Bupati Sumbawa yang diduga telah terjadi kecurangan dan money politik. Peristiwa kedua adalah peristiwa sejarah awal dimulainya peletakkan perjuangan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat yang ditandai dengan adanya upaya kristalisasi gagasan pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat kearah yang lebih konkret. Artinya, ada dua implikasi penting yang lahir akibat proses Pemilihan Bupati Sumbawa 2000. Yakni, menguatnya perjuangan rakyat disatu sisi dalam melakukan perlawanan untuk pembatalan hasil pemilihan Bupati dan pada sisilain dalam waktu yang bersamaan mulai terbangun kristalisasi gagasan dan cikal bakal lahirnya gerakan rakyat di bagian barat masyarakat Sumbawa untuk melepaskan diri dari Kabupaten Sumbawa. Sementara itu, realitas politik menunjukkan kecendrungan resistensi masyarakat terhadap DPRD dan pemerintah semakin meningkat, dan konsolidasi gerakan rakyat justeru semakin massif. Pada titik inilah, nampak legitimasi kekuasaan pemerintah pada titik yang paling rendah, sementara pada pihak lain kekuatan rakyat berada pada posisi yang tertinggi. Dalam kondisi inilah, bargaining position rakyat sangat signifikan dalam menentukan keputusan publik. Karena kendali kekuasaan sesungguhnya sedang berada ditangan rakyat.

Selama hampir satu minggu lebih pasca pemilihan Bupati, Gedung DPRD siang dan malam selalu dipenuhi aktivis mahasiswa, LSM dan sejumlah masyarakat. Banyak diantara mereka yang menginap di gedung DPRD. Gedung DPRD sekan-akan layaknya memang sebuah “rumah rakyat”, dihuni dan dijadikan tempat berkumpul bahkan bermain-main oleh para demosntrans. Perlawanan rakyat memang betul-betul terjadi pada tanggal 28 Febuari 2000 digelar “Sidang Rakyat I”, yang dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno DPRD. Dalam gelar Sidang itu 40 anggota DPRD diundang, dan hanya 20 anggota DPRD yang hadir. Tujuan Sidang ini adalah meminta penjelasan jujur dan pengakuan dosa secara terbuka dari seluruh anggota DPRD terutama mereka yang betul-betul telah menerima “angpao” dari para calon Bupati sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban publik DPRD dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Dalam Sidang itu diumumkan nama-nama anggota DPRD yang diduga terlibat politik uang dan dipersiapkan pula surat pengunduran diri anggota DPRD. Namun, sejumlah anggota DPRD menolak dan membantah tudingan dari masyarakat tersebut[7]. Karena hasilnya masih kurang memuaskan, pada tanggal 4 Maret 2000, dilaksanakan Sidang Rakyat yang kedua. (Sidang Rakyat II), para anggota DPRD diminta kembali pertanggungjawaban public atas keterlibatan mereka dalam praktek money politik, dan mereka diminta untuk segera mengundurkan diri sebagai anggota DPRD. Pengurus dan simpatisan partai politik tingkat kecamatan datang dalam siding Rakyat II. Secara bergiliran mereka berorasi dan menyatakan akan melakukan penyeledikan terhadap sejumlah kader partai yang diduga terlibat praktek money politik, dan bila benar maka mereka telah membohongi rakyat dipecat dari partai dan disingkirkan dari DPRD. Pada Sidang Rakyat III yang berlangsung pada tanggal 7 Maret 2000, hasil yang dicapai adalah sejumlah Pimpinan Daerah partai politik berani mengambil sikap dan mengumumkan keputusan memecat sejumlah kader yang terlibat money politics dari keanggotaan sebagai partai dan wakil rakyat. Berikut ini data sejumlah kader partai yang “dipecat” dari kepengurusan partai dan DPRD saat Sidang Rakyat III :

Nama Partai

Nama kader partai di DPRD yang diduga terlibat money Politik

Surat Keputusan

Keterangan

PDI-Perjuangan

1. M. Husni Jibril, B.Sc.

2. Abdul Munir, S.H.

PAC PDI Perjuangan Kab.Sumbawa No. 001/SK/PAC/III/2000 ttg Pernyataan Sikap Permainan Uang Para Kader PDI-P dilembaga legislative dalam memilih dan menetapkan Bupati Sumbawa Periode tahun 2000/2005

Ditetapkan di Sumbawa pada tanggal 5 Maret 2000. Pernyataan sikap ditandatangani 8 Ketua PAC dan 4 Sekretaris PAC

PPP

1. Nurdin Ranggabrani.S.H

PAC PPP Kab Sumbawa Nomor 06/5-4/Ex/III/2000 hal pemecatan

Ditetapkan di Sumbawa tanggal 10 Maret 2000 ditandatangai oleh Wakil Ketua dan Sekretaris DPC PPP

PAN

1. Drs Latief Mustaram

DPC PAN Sumbawa Besar. Nomor : PAN/A/K-5/007/III/2000. Hal Pernyataan Sikap

Ditetapkan di Sumbawa Besar 5 maret 2000. Ditandatangani Ketua DPD PAN Sumbawa Besar Surya Perbata dan Sekretaris M.Arifin.L.MZ

PKP

1. Drs. H. Arief Hasyim

DP PKP Kab Sumbawa Nomor 07/PKP/III/2000

Ditetapkan di Sumbawa Besar 9 maret 2000. Ditandatangani Ketua Mustaram Husein, Spd dan Sekretaris Penasihat Drs. Ramalang

Meski pernyataan sikap itu sudah diumumkan, ternyata realisasi atas putusan itu “nihil”. Sebab, Bupati tidak menindaklanjuti keputusan tersebut kepada Gubernur. Karena sejumlah anggota Dewan “mengancam” akan membongkar kasus money politik Bupati (Latief Madjid) jika berani untuk meneruskan. Meski pada akhirnya karena begitu kuatnya tekanan massa aspirasi ini diteruskan ke Gubernur, namun akhir kasus ini tidak ada kejelasan.

Ditengah pergolakan politik, hiruk pikuk Sidang Rakyat. Gerakan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Baratpun semakin menguat, upaya untuk mengkonsolidasikan gerakan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, tidak lagi sebatas gagasan maupun sosialiasi, melainkan sudah mengarah pada aksi perjuangan. Gerakan untuk mengkonsolidasikan seluruh kekuatan, khususnya kekuatan dari kedelapan Kecamatan berhasil dikonsolidasikan oleh para tokoh masyarakat bagian barat Sumbawa. Dua hari setelah Sidang Rakyat di Sumbawa Besar , tepatnya pada tanggal 10 Maret 2000, di Gedung Theatre Taliwang, juga digelar “Sidang Rakyat” untuk pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, tidak kurang, lebih dari 1000 masyarakat Sumbawa di bagian barat, secara resmi mendeklarasikan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Dalam Deklarasi yang dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat dari Kecamatan Alas, Alas Barat, Seteluk, Brang Rea, Taliwang, Jereweh, dan Sekongkang, berhasil membentuk Komite Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat (KPKSB) yang pengurusnya terdiri dari para wakil masyarakat yang berasal dari tiap-tiap Kecamatan dan Desa, dan untuk pertama kali terpilih Drs.M.Nur Yasin sebagai Ketua KPKSB. Tugas KPKSB adalah memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat.

Sejak dideklarasikanya Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, maka semangat perjuangan, sekaligus semangat perlawanan rakyat masyarakat di bagian barat Sumbawa semakin berkobar. Bak sebuah bola salju gerakan ini terus bergulir dan semakin membesar, tua dan muda, laki dan perempuan, kaya dan miskin, kulit hitam atau kulit putih, rambut lurus atau kriting, seakan-akan melebur menjadi satu, bergerak bersama untuk memperjuangkan satu kata, yakni terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat. Penjaringan dan penggalangan aspirasipun dilakukan mulai ujung Kecamatan Sekongkang hingga ujung Kecamatan Utan. Dan hasilnya, dari ujung Sekongkang sampai dengan ujung Utan setuju dibentuknya Kabupaten baru Sumbawa Barat[8]. Issue Pemekaran inipun tidak kalah dahsyatnya menyedot perhatian masyarakat, pemkab Sumbawa, pemprov NTB maupun Pempus.

Peningkatan eskalasi politik yang terjadi dalam dua arus besar, issue money politik pemilihan bupati dan issue pemekaran wilayah mendorong arus gelombang yang semakin dahsyat menggoncang konstelasi politik Sumbawa. Issue pertama bersumber dari kekuatan massa di level Kota (Sumbawa Besar) yang dimotori oleh kelas menegah Sumbawa, aktivis Mahasiswa, LSM dan Akademisi yang menuntut tiga issue ; pembatalan pemilihan bupati, pemilihan bupati ulang, pemberhentian DPRD yang terlibat money politik, serta penegakkan hukum. Sementara, pada arus gelombang kedua (issue pemekaran wilayah) bersumber dari kekuatan massa di level bawah ( grass roots) pedesaan di wilayah bagian barat Sumbawa yang dimotori oleh tokoh masyarakat pedesaan, khususnya para tokoh agama. Dengan tuntutan antara lain ; pembentukan kabupaten Sumbawa Barat, keadilan pembangunan ekonomi dan politik, pendekatan pelayanan public dan sejumlah issue lainnya. Meski pemicu kedua gerakan ini sama, yakni kekecewaan atas pemilihan Bupati Sumbawa 2000. Pada tingkat perjuangan dan strategy yang digunakan kedua gerakan ini relative berbeda, termasuk aktor penggerak perubahan, basis massa maupun isntrumen perjuangan yang digunakan. Meski demikian pada titik tertertu kedua gerakan ini mengalami titik persinggungan yang sama, “oposisi” dan sama-sama sebagai kelompok yang termarginalkan atau dimarginalkan oleh kekuasaan rezim yang berkuasa. Kedua kekuatan tersebut seakan-akan berada dalam satu “koalisi bersama” yang sangat solid dan tangguh. Padahal, tidaklah demikian. Kondisi inipulalah yang menyebabkan pemerintah berkuasa saat itu “tidak berdaya”, karena disamping harus “mendongkrak” citra kekuasaanya yang sejak awal masa kepemimpinan yang terpuruk, mereka (pemda dan DPRD) juga dihadapkan pada dua gelombang arus massa yang begitu besar, dari Desa dan Kota dengan issue berbeda.

Peluang lahirnya gerakan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, dalam konteks itu sesungguhnya tidak terlepas dari kondisi politik yang saat itu berkembang, yakni terjadinya “kevakuman” kekuasaan pemerintahan Sumbawa. Pertama, kevakuman kekuasaan dalam lembaga DPRD, pasca pemilihan Bupati tanggal 21 Febuari 2000, peran dan fungsi DPRD tidak efektif, gejolak politik yang berkepanjangan yang berlangsung selama lebih dari enam bulan bahkan lebih, sejak pemilihan hingga akhir tahun 2000, telah menyebabkan lembaga DPRD lumpuh, karena hampir setiap hari, siang dan malam gedung DPRD dikuasai oleh para demontran. Arus gelombang aksi terus berdatangan hampir setiap saat. Belum lagi, menguatnya konflik ditubuh internal partai politik itu sendiri dengan dikeluarkannya sejumlah pernyataan sikap pemecatan sejumlah anggota DPRD sebagai pengurus partai dan sebagai anggota dewan dalam Sidang Rakyat III. Kondisi tersebut benar-benar membuat sejumlah anggota DPRD “pusing tujuh keliling” menghadapi berbagai maraknya persoalan yang berkembang di Sumbawa. Kedua, kevakuman kekuasaan pada lembaga eksekutif. Meski Bupati terpilih telah dilantik, namun kinerja eksekutif sepanjang tahun 2000 tidak efektif, sebab arus gelombang yang datang bertubi-tubi disatu sisi dan ketiadaan dukungan masyarakat terhadap Bupati terpilih. Kekuatan “oposisi” yang terus berkembang dan terkonsolidasi secara massif telah melahirkan gerakan perlawanan rakyat, terhadap Bupati terpilih pun semakin meningkat, Bupati terpilih seakan-akan telah menjadi “musuh bersama” bagi seluruh kekuatan politik yang merasa telah termarginalkan dan dimarginalkan dalam kancah pertarungan kekuasaan, mereka merasa memiliki kesadaran dan posisi yang sama, yakni sebagai kelompok tertindas. Tidaklah mengherankan, bila gerakan “gayung bersambut” terus mewarnai tuntutan masyarakat, dari desa maupun dari kota. Issue-issue pun terus bergulir dan memperoleh respons yang positif dari masyarakat, bila issue tersebut “menyerang” kekuasaan Bupati terpilih. Oleh sebab itu, gelombang tuntutan pemekaran wilayahpun tidak memiliki hambatan yang cukup signifikan dari masyarakat Sumbawa yang ada di kecamatan lainnya. Bahkan, banyak masyarakat diluar Kecamatan lain yang turut mendukung adanya perjuangan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat, bahkan diantara mereka berharap, agar daerah lainnya juga turut dimekarkan. Tidak heran, jika kemudian muncul wacana pemekaran, selain wacana pemekaran Sumbawa Barat[9]. Sikap resisten atas gerakan Pembentukan Kabupaten Sumbawa barat justeru datang dari kalangan elite di tingkat DPRD dan Eksekutive, yang merasa takut, bila Kabupaten Sumbawa terbentuk nantinya, jatah “kue” yang biasa diterima oleh kalangan legislative dan eksekutif akan berkurang, sebab selama ini sumber pendapatan dari keberadaan PT.NNT cukup signifikan dalam penumpukan pundi-pundi kekayaan sejumlah kelangan elite di Sumbawa.

3. Kekerasan Politik dan Babak Baru Gejolak Politik Sumbawa

Protes rakyat tidak berakhir. Bahkan pasca dilantiknya, Bupati terpilih Latief Majdid pada tanggal 13 Maret 2000, atau dua hari setelah deklarasi Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Gelombang massa menuntut kasus dugaan money politics dalam Pemilihan Bupati tidak kunjung reda. Proses pelantikan Bupati yang seyogyanya dilaksanakan dalam sebuah Gedung DPRD pada Sidang Rapat Paripurna DPRD, pada akhirnya hanya dilaksanakan seperti halnya acara seremonial biasa di Pendopo Bupati. Pasalnya, malam hari sejumlah aktifis mahasiswa terus mencari informasi dan melakukan konsolidasi untuk melakukan aksi massa pada saat pelantikan dilaksanakan. Namun, acara pelantikan Bupati dilaksanakan secara “sembunyi-sembunyi”, situasi Kota Sumbawa Besar pun cukup mencekam. Keamanan berada pada posisi Siaga Satu, yang bertanda aparat keamanan harus waspada dan berjaga-jaga, malam menjelang pelantikan Bupati, ledakan “bom” terjadi di Gedung DPRD, Syamsul Fikri, Berlian Rayees, dan Mat Beken pun pada malam itu, diintrogasi di Polres Sumbawa, mereka dicurigai sebagai pelaku peledakan. Meski mereka kemudian tidak terbukti melakukan dan dilepaskan pada hari itu juga.

Sementara itu, dibagian Barat Sumbawa. Perjuangan politik mulai memasuki tahap perjuangan di tingkat kekuasaan. Setelah berhasil menggalang dukungan dari delapan kecamatan untuk mendeklarasikan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Para tokoh masyarakat Sumbawa Barat yang tergabung dalam Komite Persiapan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat (KPKSB), saat ini dihadapkan pada tantangan baru, berupa kemampuan untuk dapat menembus dinding kekuasaan Bupati dan DPRD, yakni mendesak dikeluarkannya rekomendasi Bupati dan DPRD Sumbawa. Sebab sebagai salah satu persyaratan Pembentukan Kabupaten sebagaimana yang diamanahkan dalam UU.No.22/1999 dan PP 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah mensyaratkan adanya rekomendasi dan dukungan dari Bupati dan DPRD. Sebelumnya, KPKSB telah beberapa kali melakukan audiensi dan aksi untuk menyampaikan aspirasi Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat.

Pada awalnya memang rencana pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat mendapat penolakan dari sejumlah kalangan pegawai di lingkungan Pemkab Sumbawa, DPRD, LSM bahkan sejumlah masyarakat, mereka umumnya bersikap skeptis dan pesimis atas gagasan pembentukan KSB. Argumentasi penolakan beragam, misalnya ketidaksiapan SDM, anggaran, infrastruktur (sarana dan prasarana), korupsi raja kecil dan sebagainya. Bahkan sejumlah pengawai negeri yang terlibat dalam gerakan KPKSB di cap sebagai perbuatan makar (melanggar profesi). Namun, hal tersebut tidak menyurutkan masyarakat Sumbawa bagian Barat mereka terus mendesak adanya pemekaran Wilayah. Kristalisasi ide/gagasan pembentukan Kab.Sumbawa semakin menguat setelah melalui berbagai pertemuan.

Presure psikologis yang dilakukan KPKSB melalui loby mendapat respon positif dari Bupati dengan keluarnya Rekomendasi Bupati No.135/060/PEM/2000. Kebijakan ini lahir, setelah mempelajari dan mengkaji aspirasi yang berkembang dimasyarakat wilayah Sumbawa Barat yang terakomodir dalam KPKSB tentang adanya harapan masyarakat untuk memekarkan wilayah dan membentuk KSB, maka Pemda Sumbawa dengan bahasa politis mengatakan pada prinsipnya menyetujui dan mendukung aspirasi tersebut karena sesuai dengan UU. No.22/1999 pasl 5 dan 6 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam rekomendasinya Bupati tanggal 7 April 2000, meminta kepada Komite Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat untuk menggalang seluruh komponen masyarakat wilayah Sumbawa Barat untuk diperansertakan dalan sosialisasi gagasan pembentukan Kab.Sumbawa Barat dan kegiatan-kegiatan lainnya. Apa yang disampaikan Bupati Sumbawa saat itu, karena mencurigai gerakan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat hanyalah gerakan yang dilakukan segelintir elite masyarakat di bagian Sumbawa barat. Dengan adanya rekomendasi itu, bagaikan sebuah bensin yang menyulut begitu cepat, semangat KPKSB untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat di delapan kecamatan (Uthan Rhee, Alas, Alas Barat, Seteluk, Brang rea, Taliwang, Jereweh dan Sekongkang) seakan tiada henti dan letih, para pengurus KPKSB tanpa mengenal siang dan malam, terus melakukan aksi penggalan massa. Dan langkah itu cukup berhasil, terbukti dari adanya dukungan dari hampir seluruh lapisan masyarakat. Inilah kemenangan awal bagi KPKSB dalam perjuangan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat.

Ditengah kesibukan para pengurus KPKSB mempersiapkan agenda selanjutnya dari perjuangan Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat. Puncak ketegangan kembali terjadi di Sumbawa Besar dan sekitarnya, tepatnya pada tanggal 21 April 2000. Dr. Sanapiah faisal, yang selama proses Pemilihan Bupati Sumbawa 2000 cukup aktif dalam memberikan pencerahan politik, dan ikut terlibat dalam berbagai seminar, dialog, bahkan aksi Sidang Rakyat dicurigai sebagai “otak” atau “dalang” dari gejolak politik yang terjadi di Sumbawa. Rencana pembunuhan Dr, Sanapiah Faisal, bermula ketika Dr. Sanapiah Faisal bersama Syaefuddin Iskandar (Rektor Unsa), Berlian Rayes, dan Marzuki Karim berkunjung ke kediaman Nurdin Ranggabrani pada tanggal 21 April 2000. Menurut Berlian Rayes, kedatangan mereka kesana adalah guna memenuhi permintaan Nurdin Ranggabrani untuk membicarakan rencana pengunduran dirinya (Nurdin dari anggota DPRD Sumbawa. Sejumlah DPP Anak Cabang mendesak Nurdin Ranggabrani untuk mundur karena diduga telah melakukan praktek money politik.

Dialog politik antara Nurdin Ranggabrani dengan Dr. Sanapiah Faisal berlangsung tegang, sementara itu diluar Rumah Dinas Nurdin Ranggabrani sejumlah massa sekitar 300 massa “pengaman” Nurdin membawa sejumlah senjata tajam[10]. Ketegangan antara Nurdin Ranggabrani dan Dr. Sanapiah Faisal, berakhir dengan penganiyaan Dr. Sanapiah Faisal oleh salah seorang oknum yang disuruh Nurdin Ranggabrani yang kemudian teruangkap adalah sosok Amin Musa, seorang warga desa yang pendidikannya ternatas dan tergolong miskin.

Pada tanggal 8 Mei 2000, mahasiswa unsa kembali menggelar aksi demonstrasi, disamping menuntut kasus dugaan money politik pemilihan Bupati, mereka juga menuntut pelaku penganiyaan Dr Sanapiah Faisal untuk diusut dan pelakunya segera diseret keengadilan. Namun aksi mahasiswa kali ini mendapatkan perlawanan kekerasan dari sejumlah kelompok “preman”, mereka (para preman) membawa pedang dan mengejar para aktivitis mahasiswa yang saat itu sedang melakukan orasi dihalaman gedung DPRD. Rencana, mahasiswa untuk melakukan aksi mogok makan pada akhirnya ujur, karena massa antidemo dengan beringas dan membawa pedang melakukan pengejaran terhadap sejumlah aktivis mahasiswa[11]. Para mahasiswa yang memperoleh tekanan tersebut akhirnya mengadakan dialog dengan Bupati Sumbawa, Drs. H. Latief Madjid di aula kantor bupati setempat. Namun, dialog tidak membuahkan hasil[12].

Hingga bulan juni aksi demonstrasi terus berlangsung, pada tanggal 19 Juni 2000 terjadi aksi demonstrasi, kali ini sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM melempari beberapa gedung milik Pemda, diantaranya ; rumah jabatan pimpinan DPRD Sumbawa, Kantor Pemda Sumbawa dan Kantor Koperasi Daerah Sumbawa. Gedung-gedung tersebut rusak bagian kaca jendela dan pintu. Dan terjadi bentrok antar demonstran dengan aparat Polri[13]. Tuntutan mereka adalah mendesak agar sejumlah anggota Dewan yang diduga melakukan politik uang diadili. Dan mendesak agar sejumlah anggota DPRD yang ’telah’ diberhentikan dari Partainya untuk tidak diperkenankan melakukan aktivitas di DPRD.

Namun, tuntutan tersebut ternyata menuai jalan buntu. Issue sejumlah partai politik yang telah memberhentikan anggota DPRD yang melakukan praktek money politik ternyata hanya kamuflase, tidak lebih merupakan siasat dan strategy partai untuk menarik simpatik massa. Ternyata pergantian anggota DPRD antarwaktu yang dijanjikan sejumlah pimpinan elite partai politik hanya janji semata. Faktanya, ternyata sejumlah anggota DPRD yang “dipecat” oleh partainya tetap masuk kantor dan tetap memimpin sidang-sidang di DPRD. Surat keputusan pengesahan pergantian antarwaktu yang ditandatangani Gubernur NTB Harun Al Rasyid ternyata tidak sampai ke daerah.

Pada tanggal 9 Desember 2000, Amin Musa (AM) pelaku dugaan penganiyaan Dr Sanapiah faisal diadili, dalam fakta dipersidangan tersangka mengungkapkan, bahwa penganiayaan itu dilakukan atas suruhan Nurdin Ranggabrani dengan imbalan akan memberikan mesin perahu satu unit. Karena mesin yang dijanjikan tidak ada, ia akhirnya membongkar kasus ini secara terbuka. Sebelum kasus penganiayaan itu dilakukan, kata Amin Musa, ia dijemput oleh sopir Nurdin Ranggrabrani, Ardi ke rumahnya di Perenang, Kecamatan Alas. Setibanya di rumah dinas Nurdin Ranggabrani, memerintahkan Amin Musa agar memukul Sanapiah karena dia yang selalu membuat ribut di Sumbawa. Selain itu, Amin Musa juga ditugasi untuk merobek salah satu surat yang akan ditandatangani Nurdin Ranggabrani saat Sanapiah datang ke rumahnya. '

Proses panjang dan berliku persidangan, kasus Penganiyaan Dr Sanapiah Faisal akhirnya berakhir dengan dijatuhkannya vonis bersalah selain Amin Musa juga kepada Nurdin Ranggabrani. Bedanya Nurdin Ranggabarani dijatuhkan dengan hukum percobaan 6 bulan. Sehingga Nurdin Ranggabarani dapat menjalankan aktivitas politiknya sebagaimana sediakala. Sementara, Amin Musa harus mendekam dideruji besi. Cerita kasus dugaaan money politik Pemilihan Bupati Sumbawa 2000 pun berakhir hingga masa jabatan Bupati terpilih, begitupun cerita pemecatan anggota DPRD dari partai politik dan anggota DPRD, berakhir begitu saja hingga masa jabatan anggota DPRD berakhir tahun 2004. Begitupun Cerita Gubernur untuk melaporkan dugaan kasus money politik ke Mendagri, hilang begitu saja, hingga Bupati pun dilantik. Sedangkan, cerita luka hati dan penderitaan nurani rakyat tetap berjalan seiring dengan perjalanan sejarah berlangsung. Seakan tak ada kubur yang layak untuk menguburkan penderitaan dan kematian dalam sebuah kubur kematian.

4. Pelajaran Politik dari Sumbawa

Beranjak dari perjalanan panjang dinamika proses pemilihan Bupati Sumbawa 2000. Maka, setidaknya ada delapan point penting yang jadikan pelajaran sekaligus bahan renungan menghadapi proses politik Pilkada langsung di Kabupaten Sumbawa Barat :

Pertama; instrumens kekerasan politik ternyata masih terjadi dalam proses politik lokal, dan kecendrungan ini digunakan oleh para elite politik tatkala posisi dan kekuasaan mereka terancam. Kendati proses reformasi dan demokrasi mulai berjalan, budaya kekerasan politik, belum berubah dan proses pembangunan demokrasi di daerah masih diwarnai dengan budaya kekerasan. Hal ini membuktikan bahwa tingkat kesadaran politik kita, khususnya para politisi di daerah masih belum mapan. Disisilain, ketidakberdayaan politik dan ekonomi masyarakat yang berlangsung selama ini ternyata menjadi salah satu instrumens yang dapat dijadikan potensi sekaligus peluang alat bagi para politisi untuk menjaga kekuasaannya.

Kedua kasus money politik kendati baunya tercium di tingkat publik, namun kasus tersebut sulit untuk dibuktikan, sehingga kasus dugaan money politik dalam pilkada sumbawa 2000 tidak dapat diungkap dalam proses persidangan. Dengan demikian, praktek money politik tetap terbuka untuk tetap eksis dalam kancah politik. Terutama, jika proses politik yang berlangsung berjalan secara tertutup dan tidak partisipatif.

Ketiga pemilhan Kepala Daerah adalah arena pertarungan politik—dengan tersedianya arena politik, maka potensi untuk terjadinya ketegangan antar kelompok tetap terbuka, terutama jika arena tersebut tidak didukung oleh perangkat aturan main, para pemain dan wasit yang memadai untuk mengatur arena pertarungan maka potensi kekacawauan akan terbuka lebar.

Keempat Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD tidak mencerminkan kedaulatan rakyat yang sejatinya, sebab pemberian suara atau pilihan untuk memilih calon Bupati yang dilakukan oleh anggota DPRD tanpa dilalui oleh sebuah mekanisme komunikasi dengan massa atau konsultasi publik. Sehingga apa yang diinginkan/dipilih DPRD dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat terdapat kesenjangan. Sehingga muncul kekecewaan masyarakat dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPRD.

Keenam ketiadaan saluran politik massa dalam proses politik telah menjadikan akumulasi kekecewaan massa semakin meningkat, mereka berada dalam ruang politik yang ambuguitas, masyarakat tidak tahu kemana dan kepada siapa mereka harus mengadu, karena jarak politik antara elite dengan masyarakat yang menjauh ketika menghadapi pemilihan kepala daerah[14].

Ketujuh munculnya Gerakan Mahasiswa di Sumbawa sebagai gerakan moral yang menyerukan peneggakkan hukum dan demokrasi adalah merupakan sebagai kekuatan penyeimbang negara. Peran mahasiswa dalam mengusung penuntasan kasus dugaan money politik pemilihan bupati telah mendorong lahirnya kesadaran dan perlawanan rakyat Sumbawa terhadap rezim kekuasaan yang tidak demokratis, dan sarat dengan praktek KKN. Kuatnya semangat perlawanan rakyat juga dipicu oleh keinginan rakyat untuk menghadirkan pemimpin tana samawa yang sesuai dengan karakteristik dan kriteria ideal yang dicita-ciatakan rakyat Sumbawa, sehingga diharapkan pemimpin yang lahir dalam pemilihan bupati Sumbawa adalah pemimpin yang dapat memahami dan mendengarkan penderitaan rakyat, bekerja tanpa pamrih dan semata-mata untuk dan demi kemajuan rakyat Sumbawa.

Kedelapan gejolak politik yang berkepanjangan di Sumbawa, bukan hanya telah melahirkan instabilitas politik dan keamanan di daerah, tetapi juga telah menghambat proses pembangunan di Sumbawa. Sehingga, pertumbuhan pembangunan yang dihasilkan tidak cukup signifikan untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan, kondisi ini telah mendorong lahirnya tuntutan bagi masyarakat Sumbawa di Bagian Barat untuk mendirikan Kabupaten Sumbawa Barat karena dinilai pemerintah terpilih gagal dalam membangun jarak ketimpangan pembangunan antara Sumbawa bagian barat dengan Sumbawa bagian timur.



[1] Penulis adalah Koordinator Badan Pekerja Lembaga Penelitian dan Advokasi Desa (LEGITIMID) Kabupaten Sumbawa Barat. Alamat email : legitimid_ksb@yahoo.com. http://legitimid.blogspot.com.

[2] Rumusan tentang Kriteria Pemimpin Tana Samawa dapat dilihat pada Buku Bandit Politik Naik Tahta Halaman 26-29. Kriteria Pemimpin Samawa ini, sebenarnya berawal dari dialog Budaya “mencari Sosok Pemimpin Ideal Tana Samawa” yang diselenggarakan pada tanggal 13 Oktober 1999, di Aula SMKK Sumbawa Besar. Forum dialog yangi dimaksudkan untuk menemukenali bagaimana sesungguhnya karakteristik sosok pemimpin ideal (bupati) yang akan mempimpin tana samawa tersebut dihadiri antara lain seperti ; Dr. Sanpiah Faisal, Badrul Munir, Agusfian Wahab, Wahid Salim, Zaidun Abdullah, Saruji Masnirah, dan sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, Ketua dan anggota dewan, aktivis LSM dan sejumlah bacabu. Rumusan hasil dialog dan kriteria ini kemudian dirumuskan oleh tujuh orang Tim Perumus (1) A. Samad Maemun, Spd (2) Sanusi Wahab, AA.g (3) Drs. Jamaluddin Malik (4) Drs Syaifuddin Iskandar, M.Pd (5( Drs. Iksan Savitri, M.Si (6) Nurhinsyah, S.I.P dan (7) varian Bintoro, S.Sos. dan hasilnya diserahkan oleh Panitia Dialog Budaya Jamamulid Malik (saat itu menjabat Camat Sumbawa) bersama dengan panita lainnya kepada DPRD.

[3] Menurut Dr. Sanapiah Faisal, Proses Pemilihan Bupati, tidak lebih dari suatu sandiwara kebohongan yang dipertontonkan oleh regu “srimulat politik”, yang pemainnya para bandit politik. Disana “lapangan bermain benar-benar tidak rata”. Tidak ada fair play. Tidak ada keadilan. Tidak ada kesamaan peluang untuk menang bagi setiap pemain. Sebab, didalamnya penuh kecurangan. Ada money politic disana, yang membuat fair play menjadi tidak mungkin terjadi. Disana sarat dan kental dengan praktek konkalikong membuat dan menggunakan “aturan main” yang memungkinkan pesekongkol memetik kemenangan, padahal aturan main tersebut (SK Pimpinan Dewan Nomor 11/2000) jelas-jelas cacat hukum, karena bertentangan dengan UU Nomor 22/1999 maupun Tata Tertib Dewan itu sendiri (SK No.12 tahun 2000)[3].

[4] Sejumlah element tersebut diantaranya adalah Front Kebangkitan Mahasiswa dan Masyarakat Sumbawa (FKMMS), Pendukung Kekuatan Reformasi Masyarakat Sumbawa (PKRMS), Koordinator Jaringan Dewan Mahasiswa Sumbawa (KJDMS), Laskar Kebo Karong, Gerakan Sumbawa Mandiri (GSM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Samawa (Unsa). mereka minta kepada DPRD Sumbawa untuk mengadakan pemilihan ulang. Bali Post, 9 Agustus 2000. Sidang Rakyat adalah salah satu bentuk aksi yang dilakukan oleh sejumlah aktivis Mahasiswa, LSM, Tokoh Masyarakat dan sejumlah elemen lainnya di Kabupaten Sumbawa yang bertujuan meminta pertanggungjawab anggota DPRD serta meminta mereka (anggota DPRD) yang terlibat untuk mundur dari jabatannya. Dalam sidang tersebut, proses Sidang diatur oleh peserta aksi, anggota DPRD yang diduga KKN layaknya seorang terdakwa di pengadilan. Sidang Rakyat ini terjadi sebanyak 3 kali, dan dikenal dengan Sidag Rakyat I, Sidang rakyat 2 dan Sidang Rakyat 3. Dan issue dan tujuan dari masing-masing Sidang ini berbeda-beda.

[5] Tuntutan ini dikenal dengan Tritura Tau Samawa Peduli Reformasi (Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat Sumbawa Peduli Reformasi), tuntutan pernyataan sikap ini ditandai diantaranya oleh Dr Sanapiah faisal mewakili cendekiawan, Muhammad Yamin mewakili Mahasiswa, Drs, Abdul Aziz, S.R, M.Si mewakili Tau Samawa di Rantau, Achmad Mastar mewakili Ulama dan Tokoh Masyarakat Sumbawa, Hartono mewakili generasi Muda dan Syamsul Fikri mewakili unsure LSM. Pernyataan ini ditandatangani pada tanggal 29 Febuari 2000.

[6] Lihat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ KPKSB), tanggal 24 April tahun 2004. Halaman 1-5.

[7] Pimpinan Sidang Rakyat I dipimpin oleh Dr. Sanapiah Faisal, Gagasan dan Konsep Sidang Rakyat lahir dari mahasiswa. Dan disambut oleh kalangan LSM, Akademisi dan masyarakat untuk merealisikan gagasan tersebut. Lebih dari lima ribu orang menghadiri Sidang Rakyat ini hingga diluar trotoal jalan Gedung DPRD. Salah seorang anggota DPRD dari PKB dan PAN yang diduga kuat terlibat membantah tudingan masyarakat terlibat dalam politik uang. Ketegangan dan suasana panas menyelimuti proses Sidang Rakyat 1.

[8] Namun dalam perkembangannya, Utan, Alas, Alas Barat keluar dari Gerakan Pembentukan Sumbawa Barat. Salah satunya karena tidak ada kesepakatan dengan masyarakat pada lima kecamatan lainnya perihal kedudukan Ibu Kota Kabupaten Sumbawa Barat.

[9] Misalnya Issue pemekaran Kabupaten Sumbawa Timur, Kabupaten Sumbawa Tengah, Kota Sumbawa Besar.

[10] Dr. Sanapiah, korban kasus penganiayaan di rumah dinas NR. Saat kejadian itu, katanya, massa benar-benar banyak, namun tidak terjadi bentrok fisik. ''Dengan lantang NR mengatakan ini massa saya 300 orang. Apa maksudnya mengatakan demikian, saya tidak tahu. Yang jelas hari itu cukup banyak massa di seputar rumah NR membawa senjata tajam,'' ungkap saksi Drs. Syaefuddin Iskandar, M.Pd., Kamis (30/11) kemarin dalam sidang lanjutan dengan terdakwa pelaku penganiayaan AM di PN Sumbawa Besar.

[11] Dijelaskan, suasana kantor DPRD Sumbawa kembali dikerumuni oleh massa, setelah aksi pengejaran mahasiswa itu usai. Polisi yang datang ke lokasi terlambat, sehingga mereka sulit mengetahui siapa anggota kelompok yang membawa pedang mengancam mahasiswa itu. Karena takut, sejumlah mahasiswa masuk ke ruangan Komisi D dan ada juga yang ke Makodim 1607 Sumbawa. Informasi lain menyebutkan, pada saat mahasiswa dikejar dengan pedang, sejumlah anggota Dewan kalang kabut. Malah, ada di antaranya meninggalkan kantor DPRD karena khawatir kena tebas. Siapa kelompok antidemo itu, hingga kini belum diketahui pasti. Yang menjadi keheranan saksi mata, ketika polisi datang ke DPRD Sumbawa, pedang yang dibawa kelompok antidemo itu tidak diamankan. ''Kalau dibebaskan membawa senjata, rakyat akan saling tebas,'' cetusnya. Wakapolres Sumbawa, Mayor Pol. Drs. Nurfallah saat diminta konfirmasinya menerangkan, karena situasi tidak memungkinkan, pedang yang dibawa itu tidak diamankan.

[12] Salah satu tuntutan mahasiswa saat Dialog dengan Bupati Kabupaten Sumbawa saat itu adalah meminta agar sejumlah DPRD yang diduga terlibat money politik untuk diberhentikan.

[13] Menurut Wakil Kapolres Sumbawa Mayor (Pol) Nurfalah, seorang warga bernama Mumun dan beberapa angggota Polri luka ringan terkena lemparan batu.

[14] Model ini misalnya adalah adanya karantina sejumlah anggota DPRD menjelang Pemilihan Kepala Daerah, dalam proses Pemilihan Gubernur NTB misalnya sejumlah anggota DPRD NTB di Karantina di salah satu Hotel Mewah di Mataram, Sehingga masyarakat sulit untuk dapat bertemu DPRD karena untuk menemui banyak meja dan pintu yang mereka harus lalui.

Tidak ada komentar: