Rabu, 29 Agustus 2007

KSB Good Governance

NASKAH AKADEMIK
RAPERDA RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJM DESA) DAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DESA
DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT
(RPJM DAN RKP DESA)










Oleh :
SYAHRUL MUSTOFA






KERJASAMA
LEMBAGA PENELITIAN DAN ADVOKASI DESA KABUPATEN SUMBAWA BARAT
(LEGITIMID)
DENGAN PEMKAB KABUPATEN SUMBAWA BARAT

TAHUN 2007





PENGANTAR


Naskah akademik sangatlah penting dalam sebuah rumusan peraturan, setidaknya ada 4 (empat) alasan, mengapa penting? Pertama, naskah akademik pada dasarnya memuat landasan filosofis kearah mana peraturan itu ditujukan dan mengapa peraturan tersebut dibutuhkan? Perubahan sosial bagaimanakah yang ingin dicapai dimasa mendatang dengan lahirnya peraturan tersebut. Selama ini, banyak para perancang peraturan (khususnya di daerah) tidak memiliki naskah akademik, bahkan tradisi ”copy paste” suatu peraturan seakan menjadi bagian dari tradisi para perancangan peraturan daerah, birokrasi daerah cenderung mengejar target, dan masih melihat peraturan daerah bukan instrumen yang signifikan dalam mendorong perubahan sosial. Banyak para perancang peraturan daerah ”gagap” merespons perubahan yang berlangsung akibat peraturan yang telah ditetapkan bahkan disejumlah daerah di NTB, banyak para perancang tidak mengetahui isi secara pasti atas peraturan yang telah ditetapkan. Karena sebagian besar peraturan daerah lahir bukan beranjak dari masalah dan ditujukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan sebatas ”ole-ole” proyek kunjungan kerja dari daerah lain. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila kemudian banyak peraturan daerah yang tidak efektif, sekedar ”hiasan”. Bahkan, justeru menimbulkan masalah baru didaerah. Dalam konteks itulah, maka sebuah naskah akademik sangat dibutuhkan—untuk mengkaji masalah, kebutuhan, dan perubahan yang diinginkan dimasa mendatang.

Kedua, naskah akademik sebagai pedoman bagi publik untuk melihat dan memahami ide/gagasan, keinginan, masalah, dan lainnya dari para perancang dalam merumuskan pasal-per pasal. Suatu pasal dalam peraturan lahir, tentu tidaklah berdiri sendiri, pasti ada musababnya atau kondisi/keinginan yang melatar belakanginya. Secara teknis, hal tersebut tidak mungkin dapat diakomodir dalam rumusan pasal per pasal. Sebab, semakin panjang kalimat dalam suatu rumusan pasal, maka kecendrungan kuat menimbulkan multinafsir dan berpotensi kalimat tersebut bermasalah. Artinya, dalam satu kalimat di dalam pasal diupayakan sedapat mungkin pendek, jelas dan padat. Dan biasanya sebaik apapun kalimat tersebut tersusun pasti akan memiliki celah kekurangan—karena itu membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Sebuah penjelasan yang sifatnya panjang lebar tentu tidak mungkin dapat kita cantumkan dalam penjelasan peraturan, sebab jika itu berlangsung, mungkin pasal yang diatur dalam suatu peraturan jumlahnya Cuma 5-10 pasal, penjelasannya bisa satu buku. Oleh karena itu adanya naskah akademik sangat membantu memberikan penjelasan/pedoman kepada publik—mengetahui gagasan para perancang, bagi para perancang sendiri hal ini sangat bermanfaat untuk ”mengingatkan” setiap gagasan yang terkandung dalam suatu pasal.

Ketiga naskah akademik sangat membantu bagi para perancang untuk berpikir sistematis, terpadu, terarah dan terukur. Para perancang juga dapat dengan mudah untuk melakukan kategorisasi dari setiap bagian item yang harus dirinci dalam rumusan peraturan. Logika berpikir sistematis, tentu akan mendorong peraturan tersebut menjadi mudah untuk dipahami. Publik dapat memahami alur berpikir para perancang. Disamping itu, keuntungan lainnya para perancang dapat mengkoreksi sendiri kerangka logika berpikir yang digunakan dalam perancangan peraturan.

Keempat, naskah akademik mendorong perubahan cara pandang hukum bagi perancang, mereka akan mengetahui kelemahan yang ada dalam setiap peraturan yang disusunnya, mengetahui faktor-faktor pendukung maupun penghambat, kondisi prasyarat dan sebagainya. Para perancang juga dipaksa untuk mencari berbagai referensi dan mengkonsultasikan setiap rancangan peraturan yang dibuatnya, dan pada akhirnya para perancang menyadari bahwa setiap peraturan pada akhirnya membutuhkan pula adanya evaluasi—untuk melihat sejauhmanakah peraturan yang telah ditetapkan tersebut mencapai hasil yang diharapkan atau sebaliknya, justeru melahirkan masalah. Kondisi ini mendorong para perancang untuk menerima kritik dari berbagai kalangan atas peraturan yang telah mereka tetapkan.

Dalam kontek itulah, Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat Desa (LEGITIMID) Kabupaten Sumbawa Barat-Nusa Tenggara Barat, sejak tahun 2006 menjalin kemitraan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat untuk memulai perubahan dalam perancangan peraturan daerah di Kabupaten Sumbawa Barat, dari tradisi copy paste kearah tradisi naskah akademik. Saat ini, LEGITIMID sedang menggas Perda RPJM Desa dan Perda BUMDES di Kabupaten Sumbawa Barat. Dan kami sangat menyadari bahwa naskah akademik dan rancangan perda RPJM Desa yang sedang kami susun masih sangat banyak kelamahan/kekurangannya.

Kami berharap, rekan-rekan yang peduli terhadap pengembangan desa untuk menyediakan waktunya, membaca dan mengkritisi setiap pasal yang ada dalam rancangan peraturan daerah ini. Kami sangat berterima kasih, dan merasa sangat bahagia jika rekan-rekan mengkritik sebanyak-banyaknya naskah akademik dan raperda ini.

Atas perhatian dan masukannya diucapkan terima kasih



Salam hormat

Syahrul Mustofa
Kontak Person HP 08175799200 atau 08175799200
Kritikan dapat dikirim via email ke alamat : legitimid_ksb@yahoo.com

















BAB I
LANDASAN YURIDIS DAN SOSIOLOGIS
RAPERDA RPJM DESA


Desa merupakan pondasi sekaligus ujung tombak pembangunan. Kedudukan desa sangat strategis dalam menentukan kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus menentukan kokohnya pembangunan daerah. Locus pembangunan, berupa proyek pembangunan fisik, seperti ; jalan, jembatan, saluran irigasi dan proyek pembangunan fisik lainnya secara umum berada dalam wilayah desa. Bahkan, hampir tidak ada satupun program pembangunan yang lepas dari wilayah desa. Persoalannya sekarang, kendati pembangunan berada dalam wilayah desa, seringkali masyarakat tidak mengetahui pembangunan yang ada di desanya. Sejak diberlakukannya No.32/2004 penataan struktur kelembagaan desa terus ditata, akan tetapi penataan tersebut belum banyak menyentuh pada perubahan sistem perencanaan pembangunan desa yang lebih efektif. Perencanaan pembangunan desa, tetap elitis dan cenderung reaksioner.

Sementara itu, disisi lain, mekanisme perencanaan pembangun desa melalui musyawarah pembangunan desa (musbangdes) yang diharapkan dapat menjadi instrument perencanaan pembangunan desa yang efektif, perlahan-lahan mulai menuai banyak kritik. Kondisi ini seiring dengan seringnya usulan yang diajukan masyarakat dalam Musbangdes tidak terakomodir dalam kebijakan pembangunan. Naskah Akademik yang disusun ini memberikan gambaran tentang latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis lahirnya rancangan peraturan daerah tentang RPJM Desa. Pada bagian ini akan dibahas landasan yuridis dan sosiologis mengapa perlu ada perda RPJM Desa di KSB?

1.1. Landasan Yuridis

Kehadiran UU. No.32/2004 tentang Pemerintahan Desa, serta lahirnya PP 72/2005 tentang Desa telah memberikan landasan yang kuat bagi terselenggaran Otonomi Desa. Berlakunya kedua aturan tersebut, juga mendorong lahirnya inisiasi Pemkab Sumbawa Barat untuk melakukan perubahan kebijakan pembangunan desa, yaitu berupa pengembangan sistem pembangunan desa yang berbasis RT. Model pembangunan berbasis RT merupakan sebuah model pembangunan yang meletakkan desa, khususnya RT dan warga RT sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan desa. Dengan demikian, maka semakin terbuka peluang perluasan partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan. Seiring dengan itu, setiap Pemerintah Desa, khususnya RT dituntut untuk mampu mengidentifikasi dan menganalisis keunggulan komparatif (comparative adventages) wilayahnya, berupa potensi sumberdaya dan peluang pembangunan di desa (RT).

Menindaklanjuti amanah PP 72/2005, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat telah menyusun sejumlah Peraturan Daerah tentang Desa, diantaranya adalah Perda No 25/2006 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Desa. Perubahan mendasar yang mulai dilakukan adalah memasukkan visi, misi dan program calon sebagai salah satu persyaratan penting yang harus dilengkapi oleh para calon Kepala Desa untuk memenuhi persyaratan sebagai Calon, dan visi, misi dan program tersebut harus dipresentasikan oleh semua calon dihadapan BPD yang merupakan lembaga representatif masyarakat di tingkat desa. Secara tegas ketentuan ini diatur dalam pasal 32 ayat (1) yang mengatakan bahwa pelaksanaan sosialiasi hari pertama dilakukan pada Rapat Paripurna BPD dengan acara penyampaian visi, misi dan program tertulis dari Calon Kepala Desa secara berurutan dengan waktu yang sama tanpa dilakukan dialog (2) Bentuk dan format visi, misi dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan dan mengintegrasikan pada sistem perencanaan pembangunan yang termuat dalan Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sumbawa Barat ataupun dokumen perencanaan pembangunan yang lainnya (3) Apabila calon terpilih menjadi Kepala Desa, visi, misi dan program sebagaimana dimaksud ayat (1) menjadi dokumen resmi Desa dan Pemerintah Daerah.

Ketentuan Perda diatas, menunjukkan bahwa secara yuridis, ketentuan mengenai RPJM Desa merupakan sebuah keharusan atau perintah dari perda yang telah diberlakukan. Sehingga, untuk menindaklanjuti Tata Cara Peyusunan RPJM Desa dibutuhkan sebuah Peraturan Daerah baru yang khusus mengatur tentang RPJM Desa. Ketentuan tersebut diperkuat dengan keberadaan PP 72/2005 tentang Desa yang merupakan pedoman lahirnya Perda Pilkades serta gagasan untuk membentuk Perda tentang RPJM Desa. PP 72/2005 dalam Bab VI pasal 63 menegaskan bahwa ;

(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangungan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/Kota.
(2) Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa
sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa.

Kemudian dalam Pasal 64 dikatakan bahwa :
(1) Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) disusun secara berjangka meliputi;
a. Rencana pembangunan jangka menengah desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
b. Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKPDesa, merupakan penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam Keputusan Kepala Desa berpedoman pada Peraturan Daerah.

Disamping ketentuan pasal diatas, dalam Pasal 65 juga ditegaskan :
(1) Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 ayat (1) didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup:
a. penyelenggaraan pemerintahan desa;
b. organisasi dan tata laksana pemerintahan desa;
c. keuangan desa;
d. profil desa;
e. informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan
desa dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam Pasal 66 dikatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Beberapa landasan yuridis lainnya yang terkait dengan hal tersebut diatas adalah :

1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
10. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang digantikan dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004.
11. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ Tanggal 11 Agustus 2005 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
12. Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor ..... Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2005.
13. Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 03 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sumbawa Barat.

Berbagai kerangka regulasi diatas, menjadi dasar-dasar yuridis bagi pemerintahan Desa dan Pemerintah Daerah untuk menyusun sebuah Peraturan Daerah tentang pembangunan desa secara partisipatif, khususnya tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan sesuai dengan amanah PP 72/2005 dan Perda No.25/2006, maka Pemkab KSB berinisiatif untuk menyusun Peraturan Daerah tentang RPJM Desa .Kondisi ini seiring pula dengan hadirnya UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengamanahkan agar setiap Pemerintah Daerah menyusun rencana pembangunan yang sistematis, terarah, terpadu dan berkelanjutan. Berbagai dokumen perencanaan yang diamanatkan disusun oleh daerah diantaranya adalah : Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD).

Pada tanggal 13 Agustus 2005, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sebagai daerah otonomi baru, telah mempunyai Kepala Daerah (Bupati dan Wakil Bupati) yang definitif. Dan telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah yang memuat penjabaran visi, misi dan program kerja Kepala Daerah terpilih (Bupati dan Wakil Bupati) selama masa jabatannya (tahun 2006 – 2010). Dengan telah ditetapkannya RPJM dan RPJP Daerah, maka untuk mengintegrasikan seluruh proses perencanaan pembangunan yang lebih sistematis, terah, terpadu dan terukur, maka perlu ada penataan terhadap dokumen perencanaan pembangunan desa. Salah satunya adalah mendorong lahirnya RPJM Desa.




1.2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis ini berangkat dari kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Asumsi dasar, bahwa masyarakat selalu mengalami perubahan sebagai konsekuensi dari proses interaksi sosial masyarakat. Karena masyarakat selalu mengalami perubahan, maka tentu perda yang dilahirkan harus melihat realitas sosial yang ada dan responsif terhadap perubahan-perubahan yang berkembang saat ini dan dimasa mendatang. Fakta selama ini membuktikan bahwa secara umum dalam proses perjalanan desa dari masa ke massa yang ada di KSB tidak memiliki visi, misi dan program yang jelas sebagai kerangka acuan atau pedoman bagi Pemerintahan Desa dalam melaksanakan pembangunan desa. Padahal, disisi lain desa memiliki peran yang sangat strategis, bukan hanya sebagai ujung tombak pelayanan, melainkan juga sebagai pondasi bagi pemerintah diatasnya. Oleh karena itu ada asumsi yang muncul semakin mandiri desa maka semakin mandiri pula pemerintah diatasnya. Dengan asumsi itupula, maka lahir asumsi bahwa bila masyarakat desa sejahtera, maka sejahtera pula kabupaten tersebut.

Kajian sosiologis dalam konteks penyusunan landasan yuridis raperda ini, beranjak dari realitas sosial dan hasil identifikasi masalah dalam penyelenggaraan pembangunan desa, hasil temuan dilapangan ternyata secara umum desa tidak memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa maupun Rencana Kerja Tahunan yang terarah, terpadu, terukur dan berkelanjutan.

Dampak dari ketiadaan RPJM Desa, antara lain meliputi ;

(1) Pembangunan desa cenderung elitis dan reaksioner

Proses pembangunan, cenderung menguntungkan para elite di tingkat desa, menegasikan kebutuhan masyarakat miskin (marginal). Faktor pendorongnya karena elite desa memiliki akses/nilai yang lebih besar ; pengaruh sosial, politik, ekonomi. Sebaliknya kelompok miskin tidak memiliki kekuatan tersebut. Kondisi ini ditopang dengan budaya paternalistik yang memperkokoh dominasi peran elit. Sementara itu, disisilain ruang yang besar bagi partisipasi belum terbuka bagi masyarakat miskin. Perubahan kemajuan pembangunan desa, berjalan lamban. Karena tidak ada program pembangunan desa yang terencana secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan. Kebijakan pembangunan Desa cenderung memenuhi keinginan atau tuntutan kepentingan sesaat dari para aktor yang berpengaruh di tingkat desa.

(2) Tujuan, Sasaran, Strategy Pembangunan tidak jelas

Secara umum Desa di KSB belum memiliki visi, misi dan program yang jelas. Arah, tujuan, strategy dan sasaran pembangunan cenderung tidak terarah, terpadu, terukur. Situasi ini melahirkan, ketidakpastian dalam pembangunan desa. Keberhasilan program pembangunan, sulit untuk dapat diukur serta diprediksikan dimasa mendatang. Apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang maupun tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan desa. Begitupun dengan potensi dan sumberdaya pendukung pengembangan pembangunan. Bahkan, banyak Desa yang tidak memiliki database dasar (monografi) desa. Sehingga, banyak program dan kegiatan desa yang tidak jelas arah maupun sasaran dari pembangunan desa.

(3) Keterputusan Pembangunan Desa dengan Kabupaten

Proses pembangunan desa dengan pembangunan kabupaten selama ini cenderung terputus, dan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Meskipun, secara umum lokasi dan sasaran program pembangunan ditujukan ke Desa. Mekanisme Musyawarah Pembangunan Desa (Musrengbangdes) yang selama ini menjadi salah satu instrumen untuk menjembatani kepentingan dan kebutuhan program pembangunan desa, masih kurang efektif, dan terkesan hanya simbolis-seremonial. Berbagai keluahan muncul disebagian besar masyarakat, karena seringkali apa yang diusulkan pada saat Musrenbang dengan realiasi program yang ada jauh dari kenyataan. Lemahnya mekanisme perencanaan pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya dan terobosan baru untuk menentukan alternatif solusi.

(4) Lemahnya Partisipasi Masyarakat Desa dalam Pembangunan

Proses penyusunan program maupun kegiatan pembangunan desa selam ini masih bertumpuh pada Pemerintah Desa. Peran Pemerintah Desa dalam proses perencanaan pembangunan begitu dominan, sementara itu peran BPD maupun LPM dalam mendorong partisipasi masyarakat masih rendah. Lemahnya partisipasi masyarakat juga disebabkan karena minimnya informasi pembangunan desa, terutama terkait dengan rencana pembangunan desa disamping sikap apatisme masyarakat desa itu sendiri. Ketiadaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa telah melahirkan lahirnya sikap ketergantungan—tumpuhan harapan dan keberhasilan program pembangunan desa, dibebankan hanya pada Pemerintah Desa. Padahal, bila merujuk pada tugas, wewenang dan kewajiban Kepala Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa begitu luas, membutuhkan “bantuan” dari masyarakat. Tanpa adanya bantuan dari masyarakat (swadaya masyarakat) maka, dapat dipastikan tingkat keberhasilan program dan kegiatan pembangunan desa akan sangat kecil.

(5) Kinerja Pemerintahan Desa Rendah dan Rawan Terjadi Penyimpangan

Rencana Pembangunan Desa baik berupa RPJM Desa maupun RKP Desa pada dasarnya adalah sebagai salah satu instrumen pendorong untuk peningkatan kinerja Pemerintahan Desa. Karena melalui RPJM Desa dan RKP Desa itulah, Pemerintah Desa dituntut untuk dapat mencapai tujuan, sasaran, target, capaian dan sebagainya dari suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan, apalagi dengan menggunakan pendekatan basis kinerja, maka disamping akan mendorong adanya peningkatan kinerja bagi Pemerintah Desa, juga akan mendorong masyarakat desa dan Pemerintah Kabupaten untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara lebih obyektif atas keberhasilan/kegagalan suatu pembangunan desa yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa.

Harus diakui bahwa kecendrungan saat ini, Kinerja sebagian besar Pemerintah Desa belumlah cukup memuaskan masyarakat, dan sebagian besar masyarakat memberikan penilaian bahwa tingkat kerawanan untuk terjadinya penyimpangan atas dana desa cukup potensial, sebab tidak ada dokumen perencanaan pembangunan desa yang dapat diakses publik. Disamping itu, dengan begitu mudahnya Pemerintah Desa (kepala Desa) menggeser suatu program atau kegiatan tertentu. Pergeseran program/kegiatan ini seringkali dilakukan oleh Pemerintah Desa tanpa melalui konsultasi publik. Dan seringkali lahir atas dasar kepentingan Pemerintah Desa sendiri.

(Analisis detail terlampir)











BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN PERDA
RPJM DESA

Berbagai gejala masalah yang muncul sebagaimana diatas, mendorong Pembak KSB bekerjasama dengan LEGITIMID KSB bermaksud untuk merumuskan suatu kerangka regulasi daerah yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Partisipatif Desa melalui RPJM Desa dan RKP Desa. Adapun maksud dan tujuan yang ingin dicapai dari kehadiran Perda nantinya ini adalah untuk mendorong agar pembangunan desa yang lebih terarah, terpadu, terukur dan berkelanjutan. Dan diharapkan, nantinya disamping Desa memiliki visi, misi, program dan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dimasa mendatang desa dapat mandiri. Secara spesifik sasaran yang diharapkan dari rancangan perda ini adalah :

2.1. Meningkatkan Koordinasi, Singkronisasi dan Integrasi Pembangunan Desa.

Hasil yang diharapkan dari adanya perda ini adalah meningkatkan koordinasi dan singkronisasi dalam proses pembangunan desa antara masyarakat dengan Pemerintahan Desa, antar Pemerintahan Desa, Pemerintahan Desa dengan Pemerintah Kabupaten/provinsi maupun Pemerintah Pusat akan lebih terkoordinasi. Proses pembangunan antar bidang/sektor dan antar pemerintahan dapat terintegrasi menjadi satu kesatuan program dan kegiatan yang saling mendukung dan sinergis. Sehingga diharapkan proses pembangunan desa dimasa mendatang dapat berjalan efektif, efisien, berdampak luas dan berkelanjutan. Berikut analisis dampak utama yang diharapkan, kondisi-kondisi yang diperlukan, kondisi pendorong dan penghambat mencapai dampak utama :

Dampak Utama yang diharapkan mengalami perubahan Kondisi-Kondisi yang diperlukan
(necessary condition) Kondisi-kondisi yang mencukupi
(sufficient condition)
Kondisi Pendorong Kondisi Penghambat
Pembangunan Desa yang sinergis, integrated dan berkelanjutan RPJM Desa dengan RPJM Kabupaten selaras/terpadu, terarah dan terukur Adanya RPJM dan RPJP Kabupaten Ego sektoral
Adanya kerjasama antara Pemerintahan Desa, instansi teknis, antar desa dan kabupaten Adanya kebijakan Pembangunan berbasis RT
Adanya Perbedaan kepentingan
Adanya sistem koordinasi yang jelas antar pemerintahan dalam proses pembangunan Adanya Musbangdes, UDKP, Rakorbang Perencanaan Pembangunan Perencanaan Pembangunan kurang partisipatif, terbuka dan bertanggung jawab
Syahrul Mustofa : data diolah dari analisis identifikasi masalah

2.2. Meningkatkan akselerasi pembangunan desa dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan masalah sosial kemasyaratan lainnya ;

Dengan hadirnya Perda RPJM Desa dan RKP Desa, maka diharapkan Setiap Desa nantinya akan memiliki visi, misi dan program pembangunan desa. RPJM dan RKP Desa sendiri didorong agar supaya dalam penyusunan program dan kegiatan pembangunan desa untuk lebih diorientasikan kepada masalah sosial yang dihadapi desa, baik pada masa sekarang maupun dimasa mendatang, serta cita-cita yang hendak dicapai oleh seluruh pemangku kepentingan di desa, yakni mengatasi ; kemiskinan dan pengangguran dan sebagianya. Sehingga, kedepan, jika RPJM dan RKP Desa telah mengarah pada upaya untuk mengatasi kemiskinan, maka kelompok masyarakat marginal dimasa mendatang semakin berkurang. Sehingga, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa pun pada akhirnya diharapkan akan semakin meningkat.

Dampak Utama yang diharapkan mengalami perubahan Kondisi-Kondisi yang diperlukan
(necessary condition) Kondisi-kondisi yang mencukupi
(sufficient condition)
Kondisi Pendorong Kondisi Penghambat
Meningkatnya Akselerasi Pembangunan Desa Komitmen dan political will pemerintahan desa untuk melaksanakan visi, misi dan program Adanya Peraturan Desa tentang RPJM Desa Inkosistensi pelaksanaan Perdes RPJM Desa
Adanya Kebijakan Pembangunan Desa yang berbasis dan berorientasi mengtasi kemiskinan desa Adanya kemauan masyarakat untuk memperbaiki/merubah kondisinya Partisipasi Masyarakat belum didukung dengan Kapasitas yang memadai
Partisipasi masyarakat desa aktif meningkatnya kesadaran masyarakat t Regulasi desa tidak memberikan ruang partisipasi masy
Adanya pemberdayaan pemerintahan/masyarakat desa dari Pemkab Adanya dukungan dana ADD, Donasi untuk desa Keterbatasan SDM, Fasilitas, anggaran
Syahrul Mustofa : data diolah dari analisis identifikasi masalah

2.3. Meningkatkan kinerja Pemerintah Desa dalam memberikan pelayanan publik ;

Dengan diaturnya pembangunan desa secara partisipatif melalui RPJM Desa dan RKP Desa, maka diharapkan Pemerintah Desa akan semakin terpacu untuk dapat mencapai target dan sasaran pembangunan desa yang telah ditetapkan secara bersama, baik untuk jangka menengah maupun jangka pendek (tahunan). Dan untuk mendorong hal tersebut, maka pertanggungjawaban kepala Desa kepada BPD setiap tahun, secara terbuka dan partisipatif mutlak harus dilakukan sebagai upaya untuk mendorong masyarakat untuk lebih bersikap kritis dan dapat memberikan penilaian secara obyektif—atas kinerja Pemerintah Desa. Adanya, standar dan tolak ukur yang jelas dari RPJM Desa dan RKP Desa, diharapkan dapat membantu para pihak di desa untuk melakukan penilaian setiap tahun. Dan untuk menjamin dan mengikat Pemerintah Desa agar serius melaksanakan RPJM dan RKP Desa, maka RPJM dan RKP Desa tersebut ditetapkan melalui Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa. Dengan demikian, maka RPJMD dan RKP Desa tersebut adalah “hukum” bagi semua pihak, yang tentu saja memiliki konsekuensi yuridis tatkala tidak dilaksanakannya. Disamping, sebagai garansi hukum bagi masyarakat untuk lebih lebih leluasa untuk memberikan masukan dan perbaikan program pembangunan di desa.

Dampak Utama yang diharapkan mengalami perubahan Kondisi-Kondisi yang diperlukan
(necessary condition) Kondisi-kondisi yang mencukupi
(sufficient condition)
Kondisi Pendorong Kondisi Penghambat
Meningkatnya Kinerja Pemerintahan Desa Adanya sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporan pemerintahan desa yang jelas Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap perbaikan kinerja Pemerintahan Desa Keterbatasan kapasitas Pemerintahan Desa
Tersedianya regulasi, SDM, sarana dan prasana yang memadai Adanya dukungan regulasi, SDM, sarana dan prasana Supervisi Pemkab ke Desa rendah


yahrul Mustofa : data diolah dari analisis identifikasi masalah

2.4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa ;

Melalui Perda RPJM Desa dan RKP Desa diharapkan lahir inovasi baru yang kreatif dan lebih bermanfaat bagi Desa, salah satu model pengembangan pembangunan desa yang akan digunakan adalah melalui pola pembangunan berbasis RT. Komitmen politik, Kepala Daerah untuk mewujudkan Pembangunan berbasis RT merupakan peluang untuk pengembangan model pembangunan desa. Oleh karenanya, upaya untuk memadukan konsep RPJM Desa dan RKP Desa seperti halnya konsep pembangunan yang dipakai di tingkat Kabupaten. Beberapa upaya inovasi dilakukan dalam perda ini.

Proses penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa dalam Peraturan Daerah ini tidak diletakkan semata-mata untuk menerapkan visi, misi dan program Kepala Desa. Melainkan harus lahir pula dari realitas sosial yang ada ; berangkat dari masalah, kebutuhan, harapan dan cita-cita yang dikehendaki bersama seluruh warga desa tersebut. Oleh karenanya, dalam Perda ini juga perlu dirumuskan model penyusunan ; format dan bentuk Rencana Strategis RT, dan didorong bagaimana seluruh proses yang dilalui dan dicapai dalam Renstra RT tersebut merupakan hasil dari kesepakatan musyawarah Ketua RT dan warganya.

Untuk menjaring seluruh usulan, keinginan, kebutuhan dan harapan masyarakat desa, proses penyusunan yang akan dilaksanakan dibangun secara berjenjang, sehingga seluruh stakeholders mulai dari RT, RW, Dusun hingga Penetapan RPJM Desa dapat secara terbuka dan melibatkan partsipasi masyarakat seluas-luasnya. Dengan demikian, diharapkan tidak ada aspirasi yang tercecer. Melalui proses pelibatan inilah diharapkan nantinya seluruh warga desa juga memiliki tanggung jawab dan peran yang sama sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya untuk memabngun desanya.

Dampak Utama yang diharapkan mengalami perubahan Kondisi-Kondisi yang diperlukan
(necessary condition) Kondisi-kondisi yang mencukupi
(sufficient condition)
Kondisi Pendorong Kondisi Penghambat
Meningkatnya Partisipasi Aktif Masyarakat dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan desa Adanya kesadaran sosial masyarakat desa Adanya iklim politik yang lebih terbuka Rendahnya tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan masy
Adanya regulasi dan sistem informasi yang mejamin partisipasi warga desa Meningkatnya tuntutan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan Semangat untuk berpartisipasi tidak berkelanjutan
Adanya dukungan pemberdayaan untuk masyarakat.
yahrul Mustofa : data diolah dari analisis identifikasi masalah

2.5. meningkatkan pengembangan program dan kegiatan prioritas desa yang sistematis, terarah, teratur, dan terukur.

Perda ini diharapkan dapat mendorong pula lahirnya program dan kegiatan prioritas pembangunan desa yang lebih sistematis, terarah, teratur dan terukur. Dan kondisi ini diyakani akan dapat membantu capaian visi, misi dan program bersama seluruh pemangku kepentingan yang ada di tingkat desa.

Berdasarkan hal tersebut, diatas maka secara sederhana rumusan maksud penyusunan RPJM Desa melalui Perda ini adalah: (1) agar tersedianya dokumen publik yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Desa dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP-Desa) Tahunan dan Renstra-RT Lima Tahun; (2) agar tersedia landasan bagi BPD dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja Pemerintah Desa, sehingga pelaksanaan pembangunan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan wilayah; dan (3) agar tersedinya program dan kegiatan prioritas yang dapat menjadi pedoman bagi semua pemangku kepentingan pembangunan (stakeholders) dalam mengoptimalkan kiprah dan partisipasinya membangun Desa menuju Kemandirian Desa.

Lingkup penyusunan RPJM Desa adalah: (1) mengidentifikasi dan mengalisis kondisi umum berbagai sumberdaya pembangunan desa, seperti geografis & sumberdaya alam, perekonomian, sosial budaya & SDM, prasarana & sarana, serta pemerintahan umum; (2) merumuskan visi, misi, strategi dan arah kebijakan pembangunan desa lima tahun ke depan; dan (3) menyajikan matrik indikasi rencana program dan kegiatan prioritas dalam pembangunan desa lima tahun ke depan.




BAB III
MATERI DAN RUANG LINGKUP
RPJM DESA
(PREDIKSI KENDALA DAN TANTANGAN YANG AKAN DIHADAPI)


Pada bagian ini penulis mencoba memulai dengan beberapa pertanyaan penting sebagai dasar untuk menyusun model perencanaan pembangunan desa. Khusunya, penyusunan RPJM Desa, Renstra RT dan RKP Desa :

1. Bagaimanakah model penyusunan RPJM Desa
2. Bagaimanakah model penyusunan Renstra Desa dan
3. Bagaimanakah model penyusunan RKP Desa


Beberapa masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam perumusan Perda :

3. 1. Prinsip-Prinsip Penyusunan RPJM Desa

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa pada dasarnya adalah merupakan sebuah pedoman atau panduan bagi Pemerintah Desa dalam melaksanakan pembangunan desa selama lima tahun. Panduan ini sangatlah penting karena akan sangat menentukan nasib desa dimasa sekarang maupun Desa dimasa yang akan mendatang. Oleh sebab itulah, penyusunan RPJM Desa, meski disusun sekali dalam lima tahun akan tetapi memiliki dampak yang besar dimasa mendatang. Salah menentukan program dan kegiatan prioritas, maka kemungkinan besar akan salah pula menentukan sasaran atau tujuan yang hendak di capai. Sebaliknya, salah dalan merumuskan tujuan dan sasaran, maka kemungkinan besar program dan kegiatan yang akan dikerjakan nantinya akan sia-sia. Karena itu, memang harus ada keterpaduan, kebermanfaatan dan keberlanjutan dalam proses pembangunan Desa.

Dengan kedudukan yang demikian, maka perencanaan pembangunan Desa bukanlah hal yang sederhana, mudah dan sembarangan. Karena kedudukannya yang begitu penting dan strategis bagi pembangunan desa, maka dalam proses penyusunan pembangunan desa, khususnya RPJM Desa haruslah diperhatikan beberapa prinsip-prinsip dalam penyusunnya:

a. Perumusan Visi dan Misi

Visi adalah gambaran atau pernyataan tentang sesuatu yang ingin diwujudkan oleh lembaga/organisasi di masa jauh ke depan. Perumusan visi dapat dilakukan dengan menggunakan data atau informasi yang bersifat normatif, visioner, dan teknis. Visi yang dirumuskan secara visioner oleh pimpinan lembaga/organsasi atau suatu pihak tertentu (dalam hali ini: Kepala Desa) dan juga mempertimbangkan informasi normatif disebut sebagai Visi Lembaga/Organisasi atau Visi Desa, sedangkan visi yang yang dirumuskan dengan menggunakan informasi teknis disebut sebagai Visi Pembangunan Desa

Perumusan visi secara visioner oleh Kepala Desa terpilih, harus mempertimbangkan kondisi desa dan aspirasi masyarakat, mengakomodasikan masukan dari tokoh masyarakat, asosiasi profesi yang ada di desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lainnya. Visi tersebut dilandasi harus dilandasi oleh nilai-nilai normatif lokal yang dapat menjadi arahan dan pemberi motivasi untuk memajukan Desa.

Merumuskan visi Kepala Desa yang dirumuskan secara visioner bukanlah hal yang mudah yang dapat dilaksanakan di tingkat desa, mengingat keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di desa, khususnya tingkat pendidikan Kepala Desa yang rendah, pengalaman yang kurang dan bila pemberdayaan terhadap Kepala Desa juga minim dilakukan oleh Pemkab atau LSM , maka kemungkinan visi yang dirumuskan oleh para Calon Kepala Desa tidaklah visioner. Bahkan, mungkin akan banyak para calon Kepala Desa yang tidak mampu untuk merumuskan visinya sendiri. Gejala atas masalah ini mulai nampak di KSB menjelang akan dilaksanakannya Pemilihan Kepala Desa Secara langsung.

Masalah lainnya yang akan dihadapi adalah terbatasnya informasi yang tersedia di desa. Hampir sebagian besar Desa yang ada sangat minim informasi, seperti misalnya monografi desa. Dari penelitian yang dilakukan LEGITIMID tentang Kesehatan Ibu dan Anak pada bulan Januari 2006, di 16 Desa di KSB misalnya, banyak ditemukan Ketua RT atau Kepala Desa yang tidak mengetahui jumlah KK apalagi tentang kondisi kesehatan Ibu dan Anak. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Para Calon Kepala Desa di kabupaten Sumbawa Barat. Mereka, dituntut untuk kreatif dan gigih mencari informasi yang valid tentang berbagai bidang pembangunan yang ada di desa agar dapat merumuskan visi yang visioner. Disamping itu, upaya pemberdayaan masyarakat desa memang harus terus ditingkatkan.

Beberapa alternatif solusi mengatasi hal diatas. (1) Pemerintah Desa saat ini perlu untuk segera memperbaiki dan melengkapi database berbagai bidang pemerintahan/pembangunan yang ada di desa. (2) perlu ada panduan sederhana dan sosialiasi format dan bentuk penyusunan visi, misi dan program untuk para calon Kepala Desa (3) perlu ada proses pendampingan bagi Pemerintah Desa pada tahap awal ini untuk meyusun RPJM Desa dan RKP Desa.


b. Sistematika Penulisan RPJM Desa

Hingga saat ini, kerangka acuan khusus petunjuk penyusunan RPJM Desa yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten belum ada. Namun demikian, untuk penyusunan RPJM Daerah telah ada, yakni Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ Tanggal 11 Agustus 2005 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP Daerah dan RPJM Daerah. Dengan adanya Surat Edaran Mendagri tersebut, Kerangka sistematika penulisan RPJM Desa ini direncanakan akan mencoba mengadopsi model sistematika penulisan RPJM Desa dan akan disesuaikan dengan sikon desa. Secara umum, sistematika RPJM Desa secara ideal sistamtika yang dapat disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Maksud dan Tujuan
1.3. Landasan Hukum
1.4. Hubungan RPJM Daerah dengan Dokumen Perancanaan Lainnya
1.5. Tata Cara Penyusunan RPJM Daerah
1.6. Sistematika Penulisan

II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH
2.1. Kondisi Geografis dan Sumberdaya Alam
2.2. Kondisi Perekonomian Daerah
2.3. Kondisi Sosial Budaya dan Sumberdaya Manusia Daerah
2.4. Kondisi Prasarana dan Sarana Daerah
2.5. Kondisi Pemerintahan dan Pelayanan Umum

III. VISI, MISI DAN TUJUAN
3.1. Visi
3.2. Misi
3.3. Tujuan dan Sasaran

IV. STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

V. ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah
5.2. Arah Pengelolaan Belanja Daerah
5.3. Kebijakan Umum Anggaran

VI. ARAH KEBIJAKAN UMUM

VII. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH DAN RENCANA KERJA
7.1. Program Pembangunan Daerah
7.1.1. Program SKPD
7.1.2. Program Lintas SKPD
7.1.3. Program Kewilayahan
7.2. Rencana Kerja
7.2.1. Rencana Kerja Kerangka Regulasi
7.2.2. Rencana Kerja Kerangka Pendanaan

VIII. PENUTUP
8.1. Program Transisi
8.2. Kaidah Pelaksanaan


Kendala yang berpotensi menghambat terlaksananya model diatas adalah ;
(1) Pemerintah Desa, dalam hal ini Kepala Desa tidak memiliki kapasitas untuk menulis RPJM Desa, karena keterbatasan kemampuan dalam merumuskan ide, gagasan, fakta, dan lainnya dalam bentuk tulisan yang sistamatis sebagaimana diatas ;
(2) Keterbatasan fasilitas desa, seperti misalnya ketiadaan komputer atau mesin tik desa ;

Beberapa alternatif yang perlu untuk dipertimbangkan mengatasi beberapa masalah diatas :

(1) Diperlukan adanya sebuah “Team Ahli” di tingkat Desa untuk menyusun RPJM Desa;
(2) Perlu ada bantuan fasilitas komputer atau mesin tik bagi desa yang belum memiliki sama sekali fasilitas tersebut;











BAB IV
TATA CARA PENYUSUNAN RPJM DESA

RPJM Desa harus disusun secara sistematis, terarah, terpadu, dan tanggap terhadap perubahan. Sistematis mengandung makna bahwa RPJM Desa harus disusun dalam satu rangkaian program dan kegiatan yang teratur. Persoalannya sekarang bagaimanakah agar RPJM Desa tersusun secara sistematis, terarah, terpadu dan tanggap terhadap perubahan. Berikut ini adalah gagasan tata cara dan sistematika penyusunan RPJM Desa:









































Gambar Tata Cara Penyusunan RPJM Desa
Berpedoman kepada Skema pada diatas, maka proses penyusunan RPJM Desa dilakukan melalui lima tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Penyiapan Rancangan Awal RPJM Desa

Kepala Desa (bersama Team Ahli Desa) menyiapkan rancangan awal RPJM Desa untuk mendapat gambaran awal visi, misi dan program Kepala Desa yang memuat strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Desa, dan arah kebijakan keuangan desa. Muatan rancangan awal RPJM desa ini menjadi pedoman bagi Perangkat Desa (RT) dalam penyusunan rancangan Renstra-RT.

























2. Penyiapan Rancangan Renstra RT

Ketua RT menyiapkan rancangan Renstra RT yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan RT berdasarkan hasil musyawarah RT dengan berpedoman pada rancangan awal RPJM Desa dan kondisi umum (masalah) yang dihadapi di tingkat RT. Program dalam rancangan Renstra RT harus terukur dan jelas tujuan, sasaran dan target yang hendak akan dicapai, keberhasilan program/kegiatan sebelumnya dipertahankan dan ditingkatkan, dan diselaraskan dengan program prioritas Kepala Desa terpilih. Untuk dapat menyiapkan rancangan Restra-RT secara baik, terarah dan selaras dengan kebutuhan RPJM Desa, maka Ketua RT akan didampingi atau dibimbing oleh Tim Penyusun RPJM Desa. Berikut ini rumusan penyusunan Renstra RT.




















































Syahrul musofa : model penyusunan Resntra RT Kabupaten Sumbawa Barat, 2007



3. Penyusunan Rancangan RPJM Desa

Kepala Desa bersama Team RPJM Desa menyusun rancangan RPJM Desa dengan cara mengintegrasikan rancangan awal RPJM Desa (yang dihasilkan pada tahap 1) dengan rancangan Renstra- RT (yang dihasilkan pada tahap 2) dan menselaraskan dengan RPJM Kabupaten. Rancangan RPJM Desa yang dihasilkan pada tahap ini menjadi masukan utama dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa Jangka Menengah (RPJM Desa).

4. Musyawarah Rencana Pembangunan Desa Jangka Menengah (RPJM) Desa

Setelah Kepala Desa bersama Team RPJM Desa menyelaraskan dan mengintegrasikan Rancangan Awal RPJM Desa dengan Renstra RT dan RPJM Kabupaten. Kepala Desa Melaksanakan Musyawarah Desa membahas Rencana Pembangunan Desa Jangka Menengah (RPJM) Desa. Dalam proses musyawarah tersebut, difasilitasi oleh 1, 2 atau 3 orang fasilitator yang ditunjuk oleh Kepala Desa untuk memfasilitasi proses pertemuan. Fasilitator tersebut diharapkan dari masyarakat setempat yang memahami situasi dan kondisi desa atau memahami draf Rancangan RPJM Desa. Musyawarah ini, untuk menyempurnakan rancangan RPJM Desa. Dan diharapkan peserta musyawarah aktif memberikan masukan/penyempurnaan. Para pemangku kepentingan/para pihak (Stakeholders) yang diharapkan dapat berpartisipasi dalam Musyawarah desa ini antara lain: Ketua-Ketua RT, RW, Kadus, BPD, LPM, PKK Desa, Karang Taruna Desa, Remas, LSM desa, dll.

5. Penyusunan Rancangan Akhir RPJM Desa

Rancangan akhir RPJM Desa disusun dan/atau disempurnakan oleh Kepala Desa bersama Team Penyusun RPJM Desa berdasarkan hasil Musyawarah Desa sebagaimana diatas, dan selanjutnya Kepala Desa bersama BPD melaksanakan Rapat untuk menetapkan Rancangan Akhir RPJM Desa dengan Peraturan Desa. Peraturan Desa tersebut kemudian disosialisasikan kepada masyarakat desa, dan disampaikan pula kepada Pemerintah Kabupaten untuk direview.

Minggu, 26 Agustus 2007

Basis RT


DRAF
BUKU SAKU
PEMBANGUNAN BERBASIS RT








JUDUL BUKU :
MENGENAL PEMBANGUNAN BERBASIS RT




Penulis :
SYAHRUL MUSTOFA



Pengantar :
…………………………………..



Diterbitkan oleh :
LEGITIMID KSB BEKERJASAMA DENGAN PEMKAB KSB
ATAS DUKUNGAN THE ASIA FOUNDATION


Hak cipta di lindungi Undang-Undang

TAHUN
2007



BAB I

SEKILAS TENTANG
KEBERADAAN RUKUN TETANGGA
Sebelum Belanda masuk ke Indonesia susunan struktur kekuasaan di Indonesia adalah dalam bentuk kerajaan, terdiri dari kerajaan besar dan kerajaan kecil. Dan setiap kerajaan dipimpin oleh seorang Raja. Belanda masuk ke Indonesia membawa pengaruh besar terhadap tatanan pemerintahan, salah satunya adalah diperkanalkan Istilah Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Demang membawahi kampung-kampung yang ada dalam suatu wilayah dan kampung-kampung tersebut di Ketua oleh Seorang Kepala Kampung. Kepala Kampung bertugas mengurus penduduk pribumi, dan untuk golongan orang Timur Asing, mempunyai Kepala dan wijk (aturan) tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana begi kedudukannya.
Pembentukan Demang dan Kepala Kampung dimasa Kolonial Belanda sebenarnya bukan ditujukan untuk memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada upaya Pemerintah Belanda mempermudah pengawasan, mempermudah dan memperluas penarikan pajak pribumi, bahkan banyak Demang dan Kepala Kampung yang dijadikan sebagai ”agen” pemerintah belanda mematai-matai setiap gerak perjuangan bangsa Indonesia. Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat digolongkan kedalam tiga susunan, yakni Timur Asing (Tiong Hoa), Pribumi dan Hindia-Belanda (Golongan Eropa). Konsep yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda ini ternyata berdampak pada proses pembauran masyarakat yang tidak berjalan harmonis, bahkan kemudian melahirkan konflik sosial berdasarkan ras, suku, dan keturunan, konsep pembangunan pemukiman dan sosial dengan pengkotak-kotakkan identitas sosial dan wilayah yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda inilah yang pada akhirnya telah melahirkan disintegrasi sosial dibanyak daerah, khususnya pada tahun 1998-2000.
Dimasa Penjajahan Jepang (1942-1945), secara struktural tidak ada perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang dirubah, yaitu menjadi Ku - Co dan mereka dibawah koordinasi Gun - Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan barisan di kalangan penduduk Indonesia, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari - Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari - gumi dipimpin oleh seorang Ku - Mi - Co (Ketua RT) . Di Zaman Belanda tak ada RT. Yang ada hanyalah Lurah. Pada masa Jepang dibentuk lembaga baru bernama gumicok atau rukun tetangga alias RT. RT sengaja dibuat oleh tentara pendudukan Jepang sebagai kepanjangan tangan militer. Digunakan untuk memantau segala sesuatu di kalangan rakyat paling bawah, pada satuan kelompok keluarga serupa dengan lembaga yang ada di negara asalnya. Tujuan lainnya dapat digunakan sebagai mesin birokrasi, jalur informasi, perang urat saraf dan pelaksanaan propaganda Asia Timur Raya.
Sistem toniragumi (kelompok lingkungan ini merupakan cikal bakal terbentuk RT/RW yang kita kenal sekarang) yang diterapkan pada zaman Jepang melahirkan organisasi keamanan Keibodan yang beranggotakan warga setempat. Para anggota Keibodan digambarkan sebagai orang-orang yang saling bekerja sama dalam semangat gotong royong dengan penjaga kampung di lingkungan mereka . Pembangunan permukiman sosial yang dibangun oleh Jepang (konsep Rukun Tetangga) atau RT memiliki keunggulan karena dalam komunitas RT tidak mengenal adanya pembedaan suku, agama, ras dan sebagainya. Sehingga di dalam komunitas RT berkembang heterogentas warga dan dengan heterogenitas inilah kemudian setiap warga masyarakat bisa saling mengenal dan belajar, bekerja sama dan pada akhirnya saling menghargai adanya perbedaan, kondisi ini mendorong pula munculnya proses demokratisasi dalam komunitas di tingkat RT.
Menurut MM Billah keberadaan RT dan RW diciptakan penjajah Jepang tujuannya ialah untuk mengontrol keberadaan masyarakat sipil. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan organisasi RT dan RW lalu diadopsi pemerintah. Tapi tujuannya masih sama. Yakni mengontrol tingkah-laku masyarakat sekaligus juga menjadi agen pemerintah di dalam komunitas masyarakat di tingkat akar rumput. Dan Pada masa transisi politik kata Billah, keberadaan RT dan RW kemudian menjadi medan pertarungan kepentingan antara negara dan masyarakat sipil. Pertarunganini lalu memunculkan konflik peran. Apakah pengurus RT dan RW mau menjadi agen pemerintah, atau memilih berpihak pada masyarakat yang memilihnya.
Berdasarkan catatan sejarah, sejak proklamasi kemerdekaan RI (17 Agustus 1945) disusul periode revolusi, kota-kota otonom diseluruh Indonesia diduduki Belanda. Pada tahun itu pula terbitlah Undang-undang No. 1 tahun 1945 tentang pemerintahan yang erat kaitannya dengan pemerintahan daerah. Menurut data yang berhasil dihimpun menyebutkan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1945 yang mengatur pemerintahan di daerah, ternyata pada pelaksanaanya kurang memadai. Oleh karena itu Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan daerah. Menurut l undang-undang No. 22 tahun 1948 yang disebut pemerintah daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Ketua DPRD dan DPD berasal dari anggota DPRD dan dipilih oleh anggota DPRD.
Fluktuasi kondisi negara pada waktu itu, banyak berpengaruh pada perubahan struktural pemerintahan dan juga lembaga legislatif. Perubahan-perubahan nama terjadi pada lembaga-lemabag pemerintah seperti sebutan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mul;a-mula DPRD Sementara, kemudian DPRD Peralihan, lalu kembali DPRD. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 menjadi DPRD Gotong Royong. Selain itu, pengaruh fluktuasi kondisi negara juga dibuktikan dengan terbitnya Undang-undang NIS No. 44 tahun 1950 dan terbitnya Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan daerah. Istilah pemerintah daerah terus berubah-ubah sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu itu. Sebutan untuk Pemerintah Daerah, juga terus berubah-ubah pada mulanya Gemeente, kemudian menjadi Pemerintah Kota Praja, Pemerintah Kota Besar, Pemerintah Kotamadya dan kembali menjadi Pemerintah Kota sampai sekarang.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mulai dapat dikendalikan, tapi kualitas penduduk masih sangat rendah, sehingga belum dapat menjadi aset pembangunan yang berarti. Karenanya, perlu dikembangkan konsep pembangunan manusia dan pembangunan sosial budaya. Menurut Dr Paulus Wirutomo, konsep pengembangan sumber daya manusia saat ini masih diartikan sempit sebagai pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang berorientasi pada kebutuhan industri atau birokrasi pemerintah. Potensi manusia belum dikembangkan sepenuhnya. Kemampuan berolah seni, olahraga, bakat, sikap mental/budi pekerti, etos kerja, kreativitas kurang dikembangkan, bahkan cenderung merosot. Akibatnya, kebanyakan anak muda menjadi kurang memiliki kepekaan dan kehalusan jiwa, tidak kreatif, tidak suka bekerja keras demi menghasilkan karya bermutu, kurang sportif, kehilangan jati diri, serta tidak mempunyai arah masa depan. Kualitas hubungan sosial budaya masyarakat cenderung merosot karena ikatan adat dilindas penyeragaman "budaya nasional", kemampuan masyarakat untuk berorganisasi secara mandiri dihambat, komunitas di tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) tidak diberi peran sebagai unit pembangunan. Kelurahan terlalu dominan, sehingga partisipasi pembangunan hanya menjadi slogan. Di sisi lain, norma dan nilai hubungan sosial bangsa telah sedemikian dalam dan luas dihinggapi penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme. Serta ada kecenderungan hilangnya rasa bersalah, rasa malu, dan rasa takut untuk melakukan penyimpangan sosial. "Hal ini melumpuhkan kepercayaan antarwarga (social trust), solidaritas sosial, sopan santun sosial, sehingga masyarakat mengalami krisis kecakapan bermasyarakat. Yaitu kemampuan individu untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban sosial dalam tindakan, sehingga menghasilkan aktivitas untuk kebaikan bersama," paparnya .
Pola pembangunan di kota-kota Indonesia, lanjut Paulus, tidak memiliki konsep yang jelas, terukur, terpantau untuk mengembangkan kualitas potensi manusia. "Tidak dikembangkan konsep community center atau semacam gelanggang remaja sebagai suatu fasilitas penting bagi pengembangan bakat, hobi, kepribadian, serta kohesi sosial. Selain juga tidak dikembangkan konsep pendidikan masyarakat yang mampu menyosialisasikan masyarakat kota untuk mengenal serta menanamkan kebudayaan dan peradaban kota," ujar Paulus.
Paulus mengusulkan, perlunya Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya dan Kebijakan Sosial yang disusun secara demokratis dan partisipatif melibatkan masyarakat umum dan diberi kekuatan hukum. Dokumen ini harus menjadi dasar pertimbangan penataan ruang dalam pembangunan dan bisa dipantau, serta dievaluasi masyarakat.
Kembangkan ekonomi rakyat
Sri Edi Swasono menekankan, sudah saatnya membangun ekonomi rakyat-berupa usaha koperasi, usaha informal, usaha kecil dan menengah-yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
"Ekonomi rakyat sudah terbukti mampu bertahan di tengah hancurnya perekonomian nasional oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan serta mampu menghidupi masyarakat," tandas Sri Edi.
Konsep pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan membuat rakyat tergusur dari tanah dan usahanya, serta memerosotkan nilai tukar produk ekonomi rakyat. Karenanya, pembangunan perekonomian rakyat dipandang sebagai strategi pembangunan yang tepat. Pembangunan perekonomian rakyat berarti meningkatkan sinergi dan posisi tawar kolektif rakyat yang selama ini tersubordinasi dan tereksploitasi ekonomi modern.
Pembangunan ekonomi kerakyatan merupakan upaya melibatkan rakyat dalam pembangunan ekonomi. Meningkatkan produktivitas, daya beli, membuka lapangan kerja, dan menumbuhkan nilai tambah ekonomi pada sektor ekonomi yang digeluti rakyat. Rakyat harus diberi kesempatan dan kemudahan untuk hidup melalui kegiatan ekonominya sebagai investasi dalam pembangunan nasional.
Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk membangun ekonominya, demikian Sri Edi, harus dilihat sebagai investasi bukan pemborosan. Memberdayakan rakyat merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas sehingga rakyat lebih konkret menjadi aset pembangunan.
Partisipasi aktif rakyat lebih menjamin nilai tambah ekonomi yang dihasilkan dapat langsung mereka terima. Pemerataan akan terjadi seiring dengan pertumbuhan. Pembangunan ekonomi rakyat akan menyesuaikan kemampuan rakyat yang ada dengan sumber alam dalam negeri, mengurangi ketergantungan akan komponen impor, serta memperkokoh pasar dalam negeri sebagai dasar pengembangan pasar luar negeri. (atk)





BAB II
MENGENAL
PEMBANGUNAN BERBASIS RT

Apa itu Program Pembangunan Berbasis RT ?

Rumus Logika Pembangunan Berbasis RT adalah semakin dekat dan besar ruang partisipasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat maka akan semakin tinggi peran serta masyarakat Jika peran serta masyaraka meningkat berarti, masyarakat semakin peduli terhadap proses kemajuan pembangunan. Jika kondisi ini berlangsung, maka seluruh komponen yang ada berkewajiban untuk merumuskan, melaksanakan dan mengawasi proses pembangunan secara bersama sesuai dengan peran, fungsi dan kapasitas yang dimilikinya.
Pembangunan berbasis RT (Rukun Tetangga) adalah pembangunan yang meletakkan locus pembangunan di tingkat RT dan Ketua RT bersama warga setempat yang merupakan unit komunitas terkecil (grass root) sebagai basis, sekaligus pelaku utama pembangunan, yang merencanankan, melaksanakan, serta mengawasi pembangunan dalam mencapai kesejahateraan sosial masyarakat. Instrumen partisipasi ditempatkan sebagai kekuatan utama dalam pembangunan berbasis RT untuk mencapai tujuan karena memang pembangunan itu sesuangguhnya berasal dari, oleh dan untuk masyarakat. Peran pemerintah dalam konteks pembangunan berbasis RT hanyalah sebagai fasilitaor pembangunan yang memoderasi berlangsungnya proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dibutuhkan untuk membantu meningkatan kualitas pembangunan, pencapaian sasaran dan keterpaduan pembangunan serta keberlangsungan pembangunan itu sendiri. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya adalah melakukan penguatan Ketua RT dan masyarakat setempat melalui pendidikan/pelatihan, pendampingan, pengembangan database dan informasi, kerjasama dan kegiatan lainnya. Indikator yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut ditandai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), seperti pendidikan, pendapatan masyarakat dan derajat kesehatan masyarakat yang tinggi.

Contoh Kasus Di Desa Labuhan Lalar; Ratusan massa yang kecewa terhadap pemberian Bantuan Tunai Langsung BBM melakukan aksi protes, mereka melakukan pengrusakan terhadap Kantor Desa. Tindakan ini selain telah menimbulkan keresahan juga telah merugikan masyarakat itu sendiri. Dana pembangunan yang seyogyanya dapat digunakan untuk pembangunan pada sector lain. Akhirnya, harus dipakai untuk memperbaiki kantor desa yang telah dirusak..
Partisipasi masyarakat diharapkan juga dapat mengurangi praktek penyimpangan, mengurangi kegiatan pembangunan yang kurang terarah dan menyentuh kebutuhan real masyarakat, mengurangi adanya resistensi serta dapat mengurangi kemiskinan pada tingkat paling bawah (RT). Dukungan masyarakat dalam proses pembangunan akan sangat membantu proses percepatan pembangunan, banyak contoh program pembangunan yang kurang didukung masyarakat selain menyulitkan pemerintah dalam melaksanakan proses pembangunan juga telah melahirkan konflik sosial. Pemerintah dihadapakan pada berbagai aksi sehingga kondusifitas terganggu, dan potensi konflik sosial pun muncul di tengah-tengah masyarakat.. Contoh kasus pemberian Bantuan Tunai Langsung-BBM.

Proses pembangunan yang belum sepenuhnya dapat memanfaatkan partisipasi masyarakat disatu sisi masih banyak Perangkat Daerah (SKPD) yang masih merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program dan kegiatan pembangunan secara sendiri, serta ketidaktersediaan data dan informasi yang memadai melahirkan program pembangunan yang terkadang kurang terarah dan menyentuh langsung pada kebutuhan real masyarakat di tingkat paling bawah, bahkan terkadang menegasikan kepentingan masyarakat miskin. Salah satu kelemahannya adalah karena “miskinnya” database dan informasi yang memadai terhadap situasi dan kondisi real yang berlangsung di tingkat paling bawah.

Jumlah warga miskin dan ukuran kemiskinan yang selalu bergeser, serta adanya perbedaan antar intsansi dalam melihat ukuran-ukuran (indikator) dan varaibel tentang kemiskinan adalah faktor penyebabnya. Dampaknya, dalam banyak kasus data kemiskinan menjadi pemicu terjadinya konflik ditengah-tengah masyarakat. Database kependudukanyang simpang siur juga melahirkan dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, dibanyak daerah terjadi kekcauan sosial. Ketiadaan data dan informasi kependudukan kependudukan yang memadai juga membuka peluang manipulasi pembangunan.

Pembangunan berbasis RT merupakan langkah awal (entry point) untuk memulai adanya dialog atau ruang komunikasi antara masyarakat dan pemerintah dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pembangunan, serta peluang adanya kritik dan autokritik antara pemerintah sebagai ”pelayan” dan masyarakat sebagai pihak yang dilayani atau ”konsumen”. Pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa ketiadaan ruang komunikasi intensif antara masyarakat dengan pemerintah selama ini telah membuka adanya saling kecurigaan antar pihak. Pembangunan berbasis RT sebagai salah satu media pemerintah dan masyarakat untuk mendekatkan jarak komunikasi dalam proses pembangunan, serta mendekatkan pemerintah dengan masyarakat miskin pada di tingkat paling bawah (RT).

Peran kelembagaan RT (Rukun Tetangga), khususnya Ketua RT sebagai lembaga kemasyarakatan di tingkat paling bawah yang ada di desa/kelurahan, diharapkan menjadi ”kepanjangantanganan” pemerintah desa, kecamatan maupun kabupaten dalam proses pembangunan karena Ketua RT adalah orang yang paling dekat dan mengetahui keadaan sesungguhnya dari setiap warganya. Selama ini masih banyak warga yang”keliru” memahami kedudukan, tugas dan fungsi RT. Seperti misalnya kedudukan RT sebagai perangkat desa, sehingga Ketua RT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desa. Padahal Ketua RT dipilih dan diangkat oleh warga setempat dalam suatu musyawarah warga. RT merupakan ”lembaga sosial” yang membantu Pemerintah Desa dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh karena RT merupakan ujung tombak pelayanan, pemberdayaan, informasi dan sebagainya maka kedudukan RT menjadi sangat strategis dalam menentukan keberhasilan suatu pembangunan. Ibarat sebuah bangunan rumah, RT merupakan pondasi dan bila pondasi itu rapuh, maka bangunan yang diatasnya pun akan rapuh. Sebaliknya, jika pondasi RT kuat maka bangunan atasnyapun akan kuat.

Program pembangunan seringkali mengalami kegagalan disebabkan oleh karena sejak awal Para Ketua RT tidak dilibatkan dalam proses pembangunan. Selama ini ada kecendrungan, Ketua RT hanya dijadikan ”simbol” oleh masyarakat di berbagai kegiatan Ketua RT seringkali hanya dijadikan sebagai pengantar surat, pembawa hidangan, bahkan ”pencuci” piring. Padahal Ketua RT merupakan fasilitator pembangunan di tingkat paling bawah, hakim yang menyelesaikan perkara di tingkat warga, polisi dalam menjaga keamanan warga, pencerah dalam pemberdayaan masyarakat, manager dalam pengembangan usaha warga, public relation di tengah warga, numerator dalam pendataan penduduk dan seterusnya.

Dalam konteks itulah, maka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan IPM (Indeks Pembangunan Masyarakat) dilakukan dengan pendekatan program pembangunan berbasis RT (Rukun Tetangga). Arah kebijakan program pembangunan diantaranya adalah peningkatan partisipasi aktif masyarakat, perbaikan kinerja pelayanan public, dan transparansi melalui serangkaian kegiatan seperti ; penguatan kelembagaan RT pendataan dan penataan adminitrasi kependudukan, penyusunan rencana pembangunan, pengembangan pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat. Berbagai komponen yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan IPM akan dibenahi secara partisipatif dan bersama-sama yang dimulai dari tingkat terkecil yakni RT. Partisipasi masyarakat yang diharapkan bukan hanya dalam bentuk penyampian aspirasi tetapi masyarakat turut mengambil bagian dalam proses pembangunan daerah, merencakan, melaksanakan, dan menjaga keberlangsungan pembangunan melalui sarana atau media yang tersedia pada tingkat paling bawah.

Banyak hal yang melandassi pemikiran atau gagasan pembangunan berbasis RT disamping hal tersebut diatas pembangunan berbasis RT merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan cita-cita atau visi Kabupaten Sumbawa Barat, yakni sebagai Kabupaten Percontohan di NTB yang diridhoi Allah SWT. Visi ini menunutut adanya kreatifitas dan inovasi yang kontsruktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Setelah, penerapan kebijakan pendidikan dan kesehatan secara gratis, perlu adanya sebuah terobosan baru dalam proses pembangunan, yakni model pembangunan berbasis RT sebagai langkah ini yang diharapkan dapat menjadi model percontohan bagi kabupaten/kota lainnya di Indonesia, khususnya di NTB.

Sebagai kabupaten baru, KSB masih tertinggal dan sejak awal banyak pihak yang meragukan kemampuan KSB. Ditengah sikap skeptis tersebut seluruh komponen pembangunan di KSB dituntut untuk maju, mengejar ketertinggalan. Proses percepatan pembangunan itu sendiri tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Perlu ada keterlibatan seluruh stakeholders secara aktif mendorong peningkatan proses pembangunan. Metode yang digunakan adalah program pembangunan berbasis RT, melalui kebijakan ini diharapkan dapat mendorong semua pihak dari level atas hingga masyarakat pada tingkat paling bawah dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan sesuai dengan kapasitasnnya. Langkah lainnya adalah memprioritas kebijakan pembangunan daerah pada peningkatan sumberdaya manusia melalui optimalisasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, serta pembangunan infrastruktur. Kerangka program ini dibangun secara bersama dan partisipatif, seluruh stakeholder dapat berperan aktif dalam mewujudkan pelayanan dasar yang efektif, efisien dan pro-rakyat miskin.


Apa yang ingin dicapai dari program pembangunan berbasis RT?

Secara umum tujuan pembangunan berbasis RT adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang berada di pedesaan maupun perkotaan dengan cara mempercepat peningkatan IPM melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, pendapatan dan komponen IPM lainnya yang dilaksanakan secara partisipatif, mandiri serta berkelanjutan, dan mendorong peningkatan transparansi kinerja pelayanan public dengan the closer the government, the better it serves.

Tujuan tersebut diatas, lebih sepesifik dijabarkan kedalam lima agenda sasaran utama dari tujuan pembangunan berbasis RT, yakni ;
1. Meningkatkan efektifitas pembangunan yang berbasis rakyat miskin serta meningkatkan kemampuan rakyat miskin dalam mengelola pembangunan untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan yang lebih baik ;
2. Meningkatkan pelayanan dasar dan memenuhi hak-hak dasar warga miskin, khususnya pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja/peningkatan ekonomi warga ;
3. Meningkatkan transparansi, partisipasi dan akuntabilitas pembangunan bagi warga dan peningkatan kinerja pelayanan publik;
4. Meningkatkan kapasitas dan peran serta seluruh stakeholder ; masyarakat, pemerintah dan swasta dalam mengelola tata pemerintahan yang baik serta ;
5. Meningkatkan kerjasama dan integrasi antar sektor pembangunan, antar pelaku pembangunan dan antar wilayah pembangunan secara sinergis dan berkelanjutan ;

Strategy apa yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut diatas?

Strategy yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan tersebut diatas adalah dengan cara :

1. Meningkatkan program pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat miskin.

Suatu pembangunan belum dapat dikatekan mencapai kemajuan atau keberhasilan manakala warga miskin jumlahnya masih sangat tinggi. Sebaliknya, pembangunan yang berhasil adalah pembangunan yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan mengurangi penderitaan warga miskin. Pembangunan berbasis RT merupakan instrumen untuk memperbaiki proses pembangunan dari basis elite ke basis warga miskin, dari perencanaan yang top down kearah perencanaan yang partisipatif, dari pegelolaan yang kurang transparans menjadi transparans, dan kepentingan elite kearah kebutuhan warga miskin.
Pendataan Penduduk seringkali di lakukan oleh berbagai instansi pemerintah, mulai dari pendataan soal kemiksinan, pengangguran, kesehatan hingga soal pemilih. Hasil pendataan ternyata seringkali berbeda. Fakta sosial sSeringkalibila ada bantuan untuk warga miskin data penduduk miskin disuatu wilayah jumlahnya menjadi membengkak.Rramai-ramai warga mendaftarkan dirinya sebagai warga miskin. Sebaliknya, bila ada suatu lomba, seperti lomba desa, jumlah penduduk miskin menjadi sangat kecil. Kondisi ini yang terkadang memicu persoalan bahkan konflik, seperti dalam kaus BLT BBM.

Upaya untuk meningkatkan efektifitas program dan sasaran program kearah warga miskin dilakukan melalui berbagai langkah diantaranya adalah ; pertama meningkatkan ketersediaan database dan sistem informasi orang susah (SIOS). Database warga miskin dibutuhkan untuk mengarahkan program kepada sasaran warga miskin, mengukur capaian keberhasilan program, serta sebagai media untuk pengembangan program pembangunan. Sedangkan sistem informasi warga miskin atau Sistem Informasi Orang Susah (SIOS) digunakan sebagai media informasi untuk membantu setiap warga melakukan pengawasan, meningkatkan sense of social seluruh stakeholders pembangunan daerah, dan mendorong pemerintah, swasta dan masyarakat itu sendiri untuk untuk terus meningkatkan perbaikan kehidupan bagi warga miskin. Kedua, memberdayakan masyarakat secara langsung (direct empowerment of civil society) melalui pemberdayaan Ketua RT dan warga setempat yang bertumpuh pada kekuatan partisipasi dan modal sosial yang dimiliki ditingkat desa (khususnya RT). Ketiga, mengintegrasikan rencana program pembangunan. Integrasi pembangunan diarahkan agar efektifitas pembangunan dapat berjalan dengan baik. Proses perencanaan pembangunan dimulai pada tingkat paling bawah (RT). Rencana pembangunan RT sebagai bahan dasar untuk merumuskan program/kegiatan pembangunan SKPD, instrumen untuk mengukur tingkat sinergisitas rencana pembangunan SKPD dan kebutuhan warga RT (khususnya warga miskin), yang ada disetiap RT. Proses perencanaan pembangunan dari tingkat RT akan meningkatkan hasil perencanaan pembangunan dan pemerintah memperoleh gambaran (input) yang lebih detail tentang kebutuhan warganya pada tingkat paling bawah dan memperluas keterlibatan peran serta masyarakat. Keuntungan lainnya, bila setiap RT memiliki perencanaan pembangunan (rencana strategis) , ditingat desa (APBD Desa) diharapkan dapat mengarah pada kebutuhan dan kepentingan warga miskin yang berada di setiap RT. Sehingga pembangunan menjadi lebih terarah, terpadu dan berkelanjutan.

2. Meningkatkan pelayanan dasar dan pemenuhan hak-hak warga miskin.

Komitmen dan political will Pemerintah untuk pemenuhan pelayanan dasar bagi warga KSB tertuang dalam kebijakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis yang berlaku sejak tahun 2006. Peningkatan pelayanan dasar dan pemenuhan hak-hak dasar warga saat ini sedang dikembangkan pemerintah khususnya menyangkut aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kesetaraan pelayanan dasar bagi warga miskin. Informasi tentang ketersediaan dan kebutuhan pelayanan dasar, kesehatan, pendidikan dan ekonomi bagi warga miskin pada tingkat paling bawah dibutuhkan sebagai bahan dalam perumusan kebijakan. Melalui informasi langsung dari masyarakat pada tingkat paling bawah pemerintah dapat mengetahui permasalahan secara komprhensif, mengetahui kebutuhan dilapangan dan dapat membandingkan dengan data dan laporan yang tersedia pada perangkat daerah.

Peningkatan pelayanan dasar ditempuh melalui peningkatan alokasi pengganggaran daerah pada rakyat miskin (pro-poor budgeting), peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana layanan dasar, peningkatan kapasitas dan kinerja pelayanan dasar, ketertersedian sistem yang memberikan ruang adanya mekanisme komplain bagi masyarakat dan akuntabilitas publik dalam layanan dasar. Program pembangunan berbasis RT diharapkan dapat mendekatkan peningkatan layanan dasar pada tujuan diatas.

3. Menegakkan prinsip good governance


Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan komitmen kuat, tekad untuk berubah menjadi lebih baik, sikap konsisten, dan waktu yang tidak singkat.
Empat prinsip utama dalam tata kepemerintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas.


Secara umum terdapat 4 (empat) prinsip utama dalam tata kepemerintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas. Berbagai pihak telah mengembangkan dan melakukan elaborasi lebih lanjut dalam berbagai prinsip turunan tata kepemerintahan yang baik, seperti prinsip wawasan ke depan, supremasi hukum, demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, keefisienan dan keefektifan, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha swastadan masyarakat, komitmen pada pengurangan kesenjangan, komitmen pada lingkungan hidup, dan komitmen pada pasar yang fair.

Pengelolaan ketatapemerintahan yang baik (good governance) dalam Pembangunan berbasis RT bersandarkan prinisp-prinsip tata kepemerintahan yang baik sebagaimana diatas.

4. Meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab sosial seluruh aktor pembangunan

Keberhasilan program pembangunan sangat tergantung dari sejauhmana partisipasi dan tanggung jawab seluruh aktor pembangunan. Perluasan Partisipasi masyarakat selain dalam perencanaan juga pada tahap implementasi pembangunan. Pola pendekatan implementasi pembangunan di tingkat RT menggunakan pendekatan swakelola secara terbuka dan partisipatif. diharapkan metode ini akan menghasilkan kuantitas dan kualitas pembangunan yang lebih baik. Contoh proyek swakelola yang cukup berhasil adalah pengelolaan dana kompensasi BBM untuk Bidang Infrastruktur. Di sejumlah Desa proyek ini ternyata cukup berhasil. Misalnya di Sekongkang Atas, masyarakat secara swadaya dan sukarela membantu pengadaan tanah urug untuk menutupi kekurangan volume pembangunan jalan dan irigasi.

Tanggung jawab sosial warga akan dibangun untuk mendorong keswadayaan dan kemandirian masyarakat dalam proses pembangunan. Kekuatan ini sesungguhnya dimiliki oleh warga setempat. Contoh misalnya dalam berbagai acara atau event, seperti acara Peringatan Hari Besar Nasional, seperti Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Peringatan Hari Besar Islam, seperti Isra Mi’raj, pembangunan mesjid dan sebagainya. Bahkan di salah satu Kecamatan, masyarakat secara bersama-sama menyumbangkan dana untuk pengadaan tanah pembangunan Sekolah Menengah Atas. Potensi swadaya masyarakat (gotong royong atau besiru) yang merupakan modal sosial dalam proses pembangunan di KSB. Peluang ini ditujukan untuk mempercepat akselerasi pembangunan.

Pengelolaan proyek pembangunan di tingkat RT yang nilainya dibawah Rp. 50 juta akan diupakan dengan pengelolaan swakelola, model ini berpotensi melahirkan adanya dana stimulasi yang berasal dari warga setempat, ada sharing pembiyaan dalam pembangunan, dan akhirnya warga akan merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk memelihara atas hasil-hasil pembangunan yang telah dihasilkannya. Ketua RT bersama TKST diharapkan mampu memfasilitasi proses keberlangsungan pelaksanaan pembangunan.

RT dibantu TKST diharapkan mampu menginisiasi dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan, berada pada garis terdepan dalam memotivasi setiap pelaksanaan proyek pembangunan yang berada diwilayahnya. Pihak swasta (corporate) diharapkan dapat mendukung dan mengintegrasikan program community developmen kedalam bagian dari program pembangunan berbasis RT.

4. Meningkatkan integrasi pembangunan

Keterpaduan dan sinergisitas pembangunan diarahkan pada upaya untuk saling mendukung antar sektor, antar wilayah dan antar pelaku pembangunan. Bukan sebaliknaya, saling bertabrakan atau tumpang tindih, dan tidak saling mendukung antar sektor/bidang, antar wilayah dan seterusnya. Keterputusan program ini akan melahirkan inefisiensi dan inefektifitas pembangunan. Oleh sebab itu pembangunan berbasis RT mendekatkan pada strategi sinkronisasi, sinergisitas dan integritas pembangunan secara berkesinambungan. Melalui RT diharapkan ketersediaan database dan informasi yang memadai, rencana program yang sistematis dapat terlaksana dengan baik.


5. Memperluas wilayah pembangunan, mendekatkan sasaran pembangunan dan memperkuat kapasitas RT dan warga dalam proses pembangunan

Pertama, wilayah kabupaten terdiri dari kecamatan, wilayah kecamatan terdiri dari desa, dan wilayah desa terdiri dari dusun, wilayah dusun terdiri dari RW dan wilayah RW terdiri dari RT. Melalui program pembangunan berbasis RT jangkauan cakupan wilayah pembangunan semakin luas dan semakin banyak warga yang terlibat dalam proses pembangunan disatu sisi dan pada sisi lain akan semakin luas jangkauan pengawasan yang dilakukan oleh warga. Sehingga berpotensi melahirkan perluasan distribusi pembangunan, memperluas partisipasi warga dan meningkatnya pengawasan pembangunan, dan berpotensi mendakatkan kesejahteraan masyarakat.

Penguatan kapasitas akan dilakukan bukan hanya untuk TKST atau Ketua RT, melainkan pula kepada Ketua RW, Kepala Dusun, Kepala Desa dan kelembagaan lainnya yang ada di desa secara bertahap sesuai dengan kebutuhan warga setempat. Para Ketua RT yang selama ini telah bersedia bekerja ”secara sukarela” dalam memeberdayakan warganya akan tetap dijaga komitmennyadan kemampuanya dalam ”mengayomi” warganya.

Prinsip-prinisp apasajakah untuk melaksanakan pembangunan berbasis RT?

Pembangunan berbasis RT merupakan inisiasi pemerintah untuk mewujudkan ketatapemerintahan yang baik (good governance) dan prinisp-prinsip dalam program pembangunan berbasis RT pada dasarnya berdasarkan atas prinsip good governance secara umum, meliputi ;

1. Prinisip Sustainability (keberlangsungan dan keberlanjutan)

Kearifan lokal dijaga untuk keberlangsung proses pembangunan sekaligus sarana transformasi sosial antar generasi. Sumber Daya Alam yang tersedia dijaga dan dimanfaatkan secara optimal untuk generasi sekarang dan generasi mendatang. Keberlangsungan Pembangunan dikelola secara bersama dan merupakan tanggung jawab bersama.
Program Pembangunan berbasis RT bukanlah sekedar lips services yang sifatnya sesaat. Program ini merupakan program berkelanjutan dan diharapkan dapat mendorong adanya keseimbangan antara kebutuhan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk masa sekarang dan generasi masa mendatang. Pengelolaan pembangunan dilakukan berdasarkan atas kearifan dan kebijaksanaan seluruh komponen yang ada. Generasi sekarang tidak boleh meninggalkan beban apalagi penderitaan bagi generasi mendatang. Seluruh stakeholders dituntut untuk saling bahu-membahu untuk mengatasi kemiskinan agar generasi mendatang tidak bertambah miskin. Semua pihak di dituntut untuk memiliki visi jangka panjang dan strategi pembangunan berkelanjutan, mampu mengorganisir segenap sumber daya dan dana untuk tujuan bersama yang lebih baik hari ini dan dimasa mendatang.

Para Ketua RT bersama warga dimasing-masing desa, diharapkan dapat berperan aktif dalam merumuskan dan mengimplementasikan program pembangunan berbasis RT, para aktor pembangunan di tingkat desa harus mulai merancang visi pembangunan jangka panjang, menggali potensi dan kearifan lokal untuk menjaga dan memelihara kelangsungan pembangunan.

2. Prinsip subsidiarty (mendekatkan pelayanan dan desentralsiasi kewenangan)

Salah satu gagasan pendekatan pelayanan yang dilakukan dalam pembangunan berbasis RT adalah pemberian sejumlah kewenangan yang sebelumnya berada pada tingkat desa di desentralisasikan ketingkat RT. Misalnya pengusulan rekomendasi pemberian sertifikat Gerakan Sejuta Pohon. Rekomendasi pemberian KTP atau Surat Keterangan Domisili. Pelaporan pengaduan pelayanan kesehatan, dan lainnya.
Semakin dekat dan mudah pelayanan, maka akan semakin dekat keterjangkauan pelayanan. Pembangunan berbasis RT berpegang pada prinsip ini, dan untuk mendekatkan pelayanan diberikan pendelegasian kewenangan dan sumber daya ke tingkatan yang terdekat dengan penyediaan pelayanan dengan berpegang pada prinsip pelayanan yang efisien dan efektiv (cost effective). Pendekatan ini diharapkan dapat mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses ’governance’ pelayanan. Melalui pembangunan berbasis RT diharapkan tercipta responsivitas (responsiveness) kebijakan dan usaha penyediaan pelayanan yang dapat memenuhi keinginan masyarakat. Pembangunan berbasis RT merupakan upaya untuk mendekatkan proses pembangunan, memberikan ruang bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat yang lebih besar, dengan pelibatan para Ketua RT dan warga setempat dalam proses pembangunan, melakukan rekruitmen tenaga TKST sebagai pendamping, membangun kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dan sebagainya.


3. Prinisp Equity (Persamaan)

Pembangunan berbasis RT memberikan peluang bagi setiap warga, laki-laki maupun perempuan, penyandang cacat maupun bukan penyandang cacat, warga yang kaya dan miskin, kelompok mayoritas dan minoritas, pejabat maupun warga biasa memiliki kedudukan, hak dan akses yang sama untuk turut memutuskan program dan kegiatan pembangunan, pengelolaan sumber daya maupun pelayanan dasar di masing-masing RT. Aspek yang dikedepankan adalah kebersamaan dengan memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan dasar warga miskin yang lebih besar.

4. Prinsip Efisiensi (Hemat)

Pendekatan proses pembangunan menggunakan prinisp efisiensi (hemat) sehingga dapat mengurangi kebocoran anggaran, dan meningkatkan cost effective dalam pembangunan.

5. Transparency and Accountability (terbuka dan bertanggung jawab)

Belum efektifnya saluran aspirasi di satu sisi dan lemahnya akuntabilitas (tanggung gugat) pada sisilain dalam proses pembangunan, ternyata berpotensi melahirkan inefisiensi dalam proses pembangunan. Akuntabilitas publik dibutuhkan untuk mendorong partisipasi masyarakat disatu pihak dan meningkatkan kinerja pelayanan oleh pemerintah. Ketiadaan akuntabilitas publik akan memiskinkan informasi dan mengurangi partisipasi warga serta membuka peluang buruknya pelayanan publik. Bahkan, sebaik apapun pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah akan selalu dinilai buruk karena masyarakat tidak mengetahui secara menyeluruh (komprehensif) serta valid atas apa yang akan, sedang dan telah dilakukan oleh pemerintah. Image buruk terhadap pemerintah ini berdampak pada berkurangnya tingkat legitimasi disatu sisi dan semakin meningkatkanya kekacauan. Dalam keadaan pemerintahan yang mengalami defisit legitimasi akan mudah untuk dijatuhkan dan instabilitas daerah berpotensi terus berlangsung.

Pembangunan berbasis RT mendekatkan pertanggungjawaban Pemerintah kepada masyarakatnya. Mencegah dan mengurangi penyimpangan kekuasaan, khususnya praktek korupsi sehingga kredibilitas pemerintah tetap terjaga dan kemiskinan penduduk dapat berkurang. Transparansi dan akuntabilitas digunakan agar setiap warga mengetahui bagaimana, apa, dan siapa penerima manfaat dari pembangunan atau keputusan pemerintah, dengan cara membuka ruang konsultasi publik, baik yang berkaitan dengan proses penganggaran maupun dalam proses pembangunan sekaligus ruang mekanisme komplain (umpan balik) melalui saluran yang disediakan oleh pemerintah.

6. Civic Engagement and citizenship (memperkuat masyarakat )

Penguatan peran masyarakat sipil salah satunya ditempuh dengan merekrut TKST dan melakukan penguatan kapasitas TKST melalui pelatihan dan supervisi, dan penguatan kapasitas para Ketua RT melalui pelatihan dan pendampingan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh TKST.
Pembangunan berbasis RT memberikan ruang bagi warga pada tingkat paling bawah untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pembangunan di berbagai tingkatan pembangunan. Program pembangunan berbasis RT juga mendorong lahirnya ’city watch’ groups di tingkat paling bawah melalui TKST dan citizen forum diharapkan dapat mendorong lahirnya good governace dan check and balance dalam proses pembangunan.

7. Security (keamanan)

Kampung perdamaian adalah sebuah kampung yang menghargai dan saling menghormati adanya perbedaan (suku, agama, ras dan adat), mengkedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan kearifan lokal dalam menyelesaiakan perkara, serta mencegah terjadinya konflik sosial. Disamping memiliki kesadaran hukum yang tinggi serta seluruh warganya taat dan patuh terhadap peraturan yang ada.
Setiap warga berhak memperoleh perlindungan keamanan. Prinsip pendekatan keamanan yang digunakan melalui program pembangunan berbasis RT adalah pengembangan pendekatan metode persuasi berbasis pada security sosial melalui penyadaran hukum, pengembangan sistem peringatan dini dalam konflik, dan peningkatan kapasitas Ketua RT dan warga dalam membangun resolusi konflik, penanganan permasalahan keamanan bagi kelompok-kelompok rawan seperti perempuan, remaja melalui pelatihan, peningkatan fungsi-fungsi hansip, peningkatan kesadaran akan resiko dari bencana alam dan merumuskan rencana pencegahan bencana alam berbasis partisipasi masyarakat, serta upaya perlindungan terhadap perempuan, anak-anak dan keluarga berbasis partisipasi warga RT.

Pendekatan keamanan yang menggunakan metode berbasis ”kearifan akar rumput” ini diharapkan dapat mendorong seluruh komponen warga pada tingkat komunitas terendah, secara bersama-sama menjaga dan mewujudkan kampung perdamaian secara mandiri dan berkelanjutan.

Apa saja program pembangunan berbasis RT?

Program pembangunan berbasis RT diharapkan dapat menjadi model pembangunan di Kabupaten Sumbawa Barat dimasa mendatang. Program Pembangunan berbasis RT, antara lain meliputi :

1. Penguatan Database dan Sistem Informasi Orang Susah (SIOS)

Program pengembangan sistem database dan sistem informasi orang susah adalah sebuah program penataan database kependudukan yang dilakukan oleh para Ketua RT di dampingi TKST secara partisipatif. Data kependudukan diupdate secara berkelanjutan dan data tersebut digunakan sebagai bahan untuk merumuskan kebijakan tahunan pembangunan daerah. Pendataan kependudukan tersebut meliputi, antara lain ;

1. Buku I, terdiri atas ;
1. Data Induk Penduduk
2. Data Mutasi Penduduk
3. Data Tamu Ketua RT
4. Data Kejadian/Peristiwa
5. Data Pendidikan

2. Buku II, terdiri atas ;
1. Data kondisi ekonomi keluarga
2. Data kondisi perumahan penduduk
3. Data bencana sosial/alam
4. Data kondisi tenaga kerja
5. Data ketersedianaan sarana umum
6. Data potensi SDA
7. Data kelembagaan masyarakat

3. Buku III, terdiri atas
1. Data catatan Ibu hamil
2. Data Sarana Sanitasi
3. Data Status Keluarga Rawan Kesehatan
4. Data Status gizi balita umur 1-5 tahun
5. Data pemeriksaaan kelahiran, kematian bayi, kematian ibu hamil, ibu melahirkan dan nifas.

Data yang dikumpulkan akan dilakukan analisis secara bersama dan berjenjang mulai dari tingkat RT, RW, Desa, Kecamatan dan Kabupaten oleh Team Analisis Data untuk menemukan masalah, kebutuhan, kecendrungan dan tingkat kemajuan dari setiap RT. Hasil analisis data tersebut akan dipublikasikan dalam database kependudukan pemerintah dalam webstite yang ada, dan pada tingkat RT dan Desa akan disediakan buku administrasi dan papan informasi yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengetahui informasi dan mendorong partisipasi warga. Pemerintah membentuk Sistem Informasi Orang Susah (SIOS). Sistem ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi para pemegang kebijakan dalam pengembilan keputusan program pembangunan dan sebagai media informasi dan kontrol sosial masyarakat.

2. Penguatan kapasitas kelembagaan desa

Penguatan kapasitas kelembagaan desa dilakukan dengan cara melakukan pelatihan, pendampingan dan supervisi kepada para Ketua RT sebagai kelompok sasaran utama program. Disamping itu penguatan kapasitas juga akan dilakukan kepada Ketua RW, Pemerintah Desa dan perangkat desa, BPD, LPM dan kelembagaan desa lainnya. Proses peningkatan partisipasi warga akan dilakukan dengan cara pendampingan, serangkaian kegiatan seperti diskusi ditingkat warga, pelatihan, pemberian dana stimulan untuk peningkatan ekonomi warga miskin dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan warga setempat.

3. Penguatan Pelayanan Dasar
Dengan ketersediaan dan dan informasi yang memadai, Pemerintah dapat memantau dan memastikan apakah kebijakan pendidikan gratis selama ini bisa di akses warga miskin?. Seberapa besar pendidikan gratis telah mendorong peningkatan pendidikan masyarakat di KSB?

Peningkatan pelayanan dasar diarahkan pada tiga bidang utama yang dibutuhkan warga, yakni ; bidang pendidikan, kegiatan pertama yang dilakukan adalah menyiapkan database dan informasi tentang tingkat pendidikan masyarakat disetiap RT. Data ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perkembangan tingkat pendidikan warga KSB secara detail. Kebijakan program pendidikan akan disusun secara partisipatif, Para Ketua RT dan TKST bersama warga setempat diaharpkan dapat merumuskan dan mengusulkan program yang merupakan kebutuhan dalam rangka pengembagan pendidikan.

Rumusan kebutuhan dan prioritas kebijakan berdasarkan atas data, informasi dan kebutuhan yang diusulkan pada masing-masing RT atau Desa, inatansi terkait akan melakukan konsultasi publik melalui perangkat pemerintah yang tersedia di tingkat paling bawah untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan telah tepat. Misalnya, kebijakan dalam pembentukan Taman Bacaan Mini di tingkat RT sebagai wadah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), play group atau program pengembangan minat belajar masyarakat melalui pembelajaran yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat setempat, Pendirian Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan sebagainya. Berbagai rencana program tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan real masyarakat.

Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan gratis, pemerintah telah membentuk juru pemantau kesehatan masyarakat (Jumantara) yang berbasis masyarakat. Salah satu tuga Jumantara adalah membantu memberikan layanan cepat dan memantau perkembangan kesehatan disetiap desa.
Dibidang Kesehatan, Kebijakan pendidikan gratis di KSB merupakan bentuk dari komitmen keberpihakan pemerintah terhadap warga. Pemenuhan-hak-hak dasar warga tersebut masih belum cukup sempurna, manakala tidak ada peningkatan perbaikan pada layanan kesehatan. Pemerintah sesuangguhnya telah menyediakan ruang bagi warga untuk melakukan pengawasan terhadap proses pelayanan kesehatan, termasuk mekanisme komplain atas pelayanan kesehatan hingga tingkat desa. Ketua RT dan warga sebenarnya dapat berpartisipasi dalam forum pemantauan kesehatan masyarakat, membantu melakukan pencatatan dan pelaporan tingkat kesehatan masyarakat, serta melakukan upaya advokasi dan fasilitasi terhadap pelayanan kesehatan yang kurang memuaskan yang diterima oleh masyarakat. Program peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat juga diharapkan dapat merambah pada pengembangan kesehatan lingkungan dan pemukiman masing-masing RT.

Dibidang pemberdayaan ekonomi keluarga, program pemberdayaan masyarakat diarahkan bagi peningkatan pendapatan keluarga melalui pendidikan ketrampilan khusus, pemanfataan lahan pekarangan, home industri dan program lainnya yang sesuai dengan potensi, kebutuhan, kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dimiliki oleh setiap Kepala keluarga dan lingkungan RT. Ketua RT bersama TKST diharapkan dapat menggali potensi yang dimiliiki disetiap desa dan merumuskan program ekonomi yang ideal secara partisipatif bersama warga setempat. Potensi unggulan yang ada disetiap RT akan dijadikan sebagai dasar dan kekuatan dalam pengembangan kebijakan ekonomi.

4. Penguatan Partisipasi Warga

Penguatan partisipasi warga dilaksanakan dengan mengembangkan proses pembangunan yang berbasis komunitas RT. Proses pembangunan yang berbasis komunitas RT adalah proses pembangunan yang pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan dilaksanakan oleh komunitas RT. Proses tersebut meliputi ; perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah desa, pemerintah kabupaten dan sektor swasta yang berada dalam lingkup RT. Penguatan partisipasi warga dilakukan melalui pendampingan warga yang dilakukan oleh TKST dimasing-masing desa.

Bagaimanakah tahapan pelaksanaan program?

1. Tahap Inisiasi

Tahap inisiasi ini terdiri dari beberapa agenda kegiatan, yakni antara lain ; perumusan dan finalisasi konsep model pembangunan berbasis RT, perumusan regulasi pembangunan berbasis RT, rekruitmen Tenaga Kerja Sukarela Terdidik (TKST), Sosialisasi model pembangunan berbasis RT dan pelatihan untuk TKST.

2. Tahap Implementasi

Implementasi program didasarkan atas hasil perencanaan dan laporan program yang dilaksanakan oleh TKST dan Team Kabupaten. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai leading sektor, akan melakukan kompilasi dan verifikasi atas perencanaan pembangunan dimasing-masing RT dan mengintegrasikan rencana pembangunan di tingkat RT kedalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah.

3. Tahap Monitoring dan Evaluasi

Proses menoitoring akan dilaksanakan pada tiap item program untuk melihat secara obyektif perkembangan pelaksanaan program. Monitoring akan dibagi kedalam beberapa bentuk :
Monitoring secara partisipatif oleh masyarakat – Montoring yang efektif dan obyektif adalah monitoring yang dilakukan oleh penerima manfaat program, yakni masyarakat. Proses monitoring akan melibatkan langsung masyarakat dan untuk melihat pelaksanaan dan keuangan program di lokasinya. Tenaga Kerjsa Sukarela Terdidik (TKST) di masing-masing desa berkewajiban untuk melaporkan kemajuan kegiatan dan penggunaan dana dan melaporkan kepada Ketua RT dan warga dalam forum “musyawarah pertanggungjawaban”.
Monitoring oleh Pemerintah –pemerintah memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa kegiatan TKST telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan prosedur yang berlaku, serta memastikan program dan dana tersebut telah dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya. Semua jajaran pemerintah yang terlibat memiliki tanggung jawab untuk memantau pelaksanaan kegiatan TKST di wilayah masing-masing.
Pemantauan oleh konsultan –Koordinator TKST tingkat Kecamatan bersama konsultan kabupaten bertanggung jawab untuk memantau kegiatan TKST Desa. Para konsultan melakukan kunjungan rutin ke lokasi kegiatan untuk memberikan pendampingan teknis dan supervisi.
Mekanisme penanganan pengaduan dan masalah – Masyarakat dapat secara langsung menyampaikan pertanyaan atau keluhan kepada TKST, staff pemerintah, LSM atau mengirimkan keluhannya langsung ke kotak pos khusus. Pembangunan berbasis RT membentuk unit penanganan pengaduan di tingkat Kecamatan dan Kabupaten untuk mencatat dan menindaklanjuti pertanyaan dan pengaduan masyarakat.
Pemantauan Independen oleh Masyarakat Madani – Kelompok masyarakat seperti LSM dan jurnalis turut melakukan pemantauan independen terhadap TKST. Jurnalis diundang untuk memantau dan memberitakan serta menyiarkan berita mengenai temuan – temuan mereka di lapangan.
Siapa yang melaksanakan program pembangunan berbasis RT?

Program Pembangunan berbasis RT pada dasarnya dilaksanakan secara bersama, pemerintah daerah, masyarakat, swasta diharapkan dapat berpetan dalam mendukung program pembangunan berbasis RT. Dibawah ini adalah pembagian peran masing-masing stakeholder dalam pembangunan berbasis RT, sebagai berikut :

Peran Pemerintahan Daerah
No Pelaksana Program Peran
1 Bappeda 1. Koordinator Program
2. Mengintegrasikan program pembangunan berbasis RT kedalam RKPD
2 Dinas Sosial, Nakertans dan Pemberdayaan Masyarakat 1. Leading Sektor pelaksana program pembangunan berbasis RT
2. Fasilitatator sosialisasi program
3. Fasilitasi penyusunan persiapan dan pelaksana program
4. Pelatihan perangkat RT bekerjasama dengan LSM
5. Rekruitmen tenaga pendamping kegiatan (Fasilitator desa) bekerjsama dengan LSM
6. fasilitasi kerjasama kemitraan
7. fasilitasi kegiatan pemberdayaan masy
8. fasilitasi penyusunan SOP
9. optimalisasi peran dan fungsi Unit Pengaduan masyarakat
10. Pelaksanaan lomba RT
3 Dinas Kesehatan 1. Fasilitasi dibidang kesehatan
2. Fasilitasi pembentukan Forum jumantara
3. pelatihan kader jumantara (RT)
4. pendampingan dan penguatan jumantara untuk memback-up desa siga pada locus RT
5. sosialisasi PHBS kepada masyarakat

4 Dikpora 1. Melakukan koordinasi dan fasilitasi partisipasi masyarakat dibidang pendidikan
2. fasilitasi wadah kegiatan belajar masyarakat
3. penguatan partisipasi masyarakat dan RT dalam penyelenggaran PAUD (pendidikan Anak Usia Dini) dan kegiatan pengentasan keaksaraan fungsional

5 Sekretariat Daerah 1. Pembentukan perbut tentang Tupoksi RT
2. Pembinaan kewilayahan dan administrasi pemerintahan desa
3. Fasilitasi penganggaran program
6 Dinas Kehuatanan, pertanian dan tanaman pangan 1. Fasilitasi penyediaan tanaman keras untuk mendukung Gerakan Sejuta Pohon (GSP)
2. Bantuan penyuluhan dan pendampingan masyarakat untuk pemanfataan rumah untuk apotik hidup dan warung hiudp
7 Perindagkop dan UMKM 1. Pelatihan kewirausahaan
2. Fasilitasi kelompok usaha rumah tangga
8 DPU dan Pertamanan 1. Fasilitasi sistem penataan lingkungan pemukiman RT
2. Fasilitasi rehabilitasi partisipatif rumah tidak layak huni
3. fasilitasi masyarakat dalam perbaikan saluran drainase dan sanitasi lingkungan
4. penyediaan TPS untuk sampah
5. fasilitasi pelaksanaan proyek padat karya
9 Ducapil dan KB 1. Fasilitasi pemutakhiran database kependudukan
2. Fasilitasi bina keluarga
3. Desiminasi peran PL-KB dan PPKBD kedalam fungsi RT
10 Kecamatan, Kelurahan dan Desa 1. Menyiapkan perangkat administrasi perangkat RT
2. Pembinaan perangkat RT
3. Fasilitasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pembangunan di tingkat RT
4. pembinaan RT
11 SKPD lain 1. Menunjang pelaksanaan program
2. mengintegrasikan program pembangunan berbasis RT dalam renja SKPD
PERAN MASYARAKAT
1 Lembaga Swadaya Masyarakat 1. Membantu pemerintah dalam melakukan perencanaan program
2. Penjajakan dan identifikasi permasalahan di lingkungan RT
3. Fasilitasi perekrutan community organizer (CO) untuk pendamping RT
4. Fasilitasi pelatihan kader pendamping RT
5. Melakukan monitoring dan evaluasi
2 Perangkat RT dan Tokoh Masyarakat 1. Fasilitator dan mediator dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah dan pihak lain
2. Melakukan pendataan terhadap masyarakat di lingkungan RT untuk SIOS
3. Fasilitasi rapat bersama warga untuk menyusun rencana aksi pelaksanaan program
4. memediasi informasi dan pengaduan masyarakat
5. menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
3 Dewan Pendidikan 1. Melakukan identifikasi dan koordinasi dengan perangkat RT kaitannya dengan partisipasi yang diharapkan dari masyarakat untuk memajukan dunia pendidikan dan penguatan pendidikan para sekolah
2. Sosialiasi kebijakan pemerintah pada locus RT
4 Tenaga Pendamping 1. Pendampingan masyarakat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, dan melakukan evaluasi terhadap program
2. melakukan fasilitasi dan koordinasi dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat
5 PKBM,PKK,LPM dan OMS 1. Melaksanakan kegiatan pembelajaran dan pendidikan keterampilan kepada masyrakat
2. Menyiapkan model pembelajaran masyarakat secara partisipatif
PERAN PIHAK SWASTA / DUNIA USAHA
1 BUMS 1. Koordinasi dengan Pemda dalam penyusunan rencana kegiatan pengembangan masyarakat secara terpadu sampai ketingkat RT
2. Integrasi program dan kegiatan pembangunan masyarakat dengan program pembangunan berbasi RT
3. Dukungan pendanaan untuk membantu stimulasi pembiayaan kegiatan masyarakat
4. Dukungan media ekspose dan fasilitasi kegiatan termasuk peningkatan kapasitas parapihak yang terlibat dalam kegiatan
2 BUMD (Perusda) dan KJKS 1. Melaksanakan kegiatan dan usaha pemberdayaan masyarakat.
2. Optimalisasi pemanfaatan Dana Abadi Desa dalam rangka mempercepat kemandirian usaha bersama kelompok dilingkungan RT

Struktur Program pembangunan berbasis RT?

Model Kemitraan Program Pemerintah dan Masyarakat







Apa saja prasayarat pendukung keberhasilan prmbangunan berbasis RT?

Program pembangunan berbasis RT akan berhasil bila ;
1. Adanya dukungan dari seluruh warga diseluruh tingkatan. Dukungan warga dibutuhkan dalam pengembangan berbasis RT, karena pembangunan berbasis RT mensyaratkan adanya partisipasi seluruh warga. Tanpa ada dukungan warga program pembangunan berbasis RT sulit untuk dapat dilaksanakan.

2. Adanya ketersediaan anggaran.Dukungan anggaran dibutuhkan untuk kelangsungan proses kegiatan. Pemerintah dan DPRD diharapkan dapat bekerjasama dan memberikan dukungan kebijakan anggaran yang memadai untuk pelaksanaan program dan kegiatan.

3. Adanya ketersediaan Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia tersebut meliputi ketersediaan tenaga pendamping desa yang memiliki integritas, komitmen, kapasitas dan accepatbilitas yang tinggi.

4. Adanya sarana dan prasaran pendukung ; diantaranya adanya fasilitas untuk melaksanakan berbagai pelatihan/pendidikan untuk warga.

5. Adanya kerjasama diseluruh bidang dan para pelaku pembangunan daerah (pemerintah, swasta, masyarakat) serta terjaganya kondisi yang kondusif bagi keberlangsungan program.